Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tarawih Ngebut Vs Tarawih Kalem dalam Perspektif Pendidikan

30 Mei 2017   06:43 Diperbarui: 30 Mei 2017   07:42 2017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terawih Ngebut Vs. Terawih Kalem dalam Perspektif Pendidikan
Oleh: Zaki Mubarak

Gagasan ini sebenarnya sudah lama ingin saya tulis. Setiap bulan Ramadhan tiba dan ketika saya menghadapi dilema dengan pilihan model shalat terawih yang beragam, saya ingin sekali menuliskan tentang ini. Mungkin waktu inilah yang tepat untuk saya ceritakan, dimana dalam empat hari awal puasa, saya mengalami terawih di empat tempat berbeda, empat kabupaten yang berbeda dengan sistem terawih yang berbeda.

Hari pertama saya di kabupaten Kuningan dimana pesantren depan rumah mertua memberikan gambaran bagaimana terawih ala Valentino Rossi sedang berlatih (baca: ngebut). Hari kedua saya pulang ke rumah di Tasikmalaya di mana saya dan teman DKM menjadi bagian dari motor terawih itu. Hari ketiga di Garut dimana ayah, kakek, nenek saya dulu belajar mengaji dan terawih. Dan terakhir saya ikut terawih di Daarut Tauhid (DT) Bandung, dimana ayat-ayat panjang terlantun dalam qiroat yang merdu.

Saya akan coba membandingkan empat daerah yang saya singgahi ini secara deskriptif dengan menganalisis melalui cara pandang saya tentang pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah tentang aliran belajar dalam pendidikan, dimana saya merasa bahwa shalat terawih bukanlah shalat yang biasa, ia adalah shalat luar biasa di mana aspek pembelajarannya (mujahadah) lebih kental dari aspek ritualnya. Ini berbeda dengan shalat wajib 5 kali sehari. Terawih lebih kepada shalat yang membutuhkan energi lebih, waktu yang panjang, semangat yang tinggi dan tentu saja spesial di bulan Ramadhan.

Baiklah saya akan mencoba menganalisis empat model terawih dalam dimensi aliran belajar versi ilmu pendidikan. Pertama shalat terawih di sebuah pesantren di kuningan depan rumah mertua. Menjadi hal lumrah di sebuah pesantren bahwa terawih dilakukan dengan cara ngebut sengebut-ngebutnya. Ia bagai dikejar syetan yang mau menghancurkan semangat shalatnya. Hampir semua pesantren yang saya singgahi memiliki tradisi yang sama, wabil khusus pesantren yang memiliki santri dengan program pasaran. Program ini membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk kajian kitab kuning karena mengejar target (biasanya) 25 hari di bulan Ramadhan.

Aliran belajar yang cocok dalam shalat terawih ini adalah aliran behaviourisme. Aliran ini adalah aliran dimana sikap, prilaku dan pembiasaan lebih penting dari makna berpikir (baca: shalat) itu sendiri. Kadang meaningful learning dalam aliran ini terabaikan. Gaya terawih ini lebih memusatkan diri pada bagaimana shalat itu menjadi kebiasaan dan dilakukan secara drill. Lihat saja, hampir semua pesantren mengikuti terawih 23 rokaat. Bacaan fatihah dan surat At Takatsur di rokaat pertama dan diakhiri surat al Lahab di rokaat akhir menjadi sistem yang mentradisi. Imam tidak usah menghitung jumlah rokaat shalat karena setiap rokaat dihitung dengan cara bacaan surat yang menjadi identitasnya. Bisa jadi sholat dilakukan hanya 20 menit sampai 30 menit. Kenceng bukan?

Setiap rokaat kadang tidak dimaknai sebagai shalat yang mengandung pemahaman arti shalat yang dalam. Shalat adalah membiasakan diri untuk tetap semangat dalam dalam beribadah, berkuantitas walaupun kurang berkualitas dan membutuhkan kesigapan. Bila tidak sigap dalam melatih kecepatan terawih ngebut ini, bisa dipastikan shalatnya tertinggal oleh jemaah. Inilah shalat ala aliran behaviourisme dimana shalat tidak dilihat dari dimensi ilmu tetapi dimensi prilaku yang dibiasakan.

Karena jaringan luasnya pesantren macam ini di Indonesia, maka para santri menularkan tradisi ini kepada daerah masing-masing. Hal ini saya rasakan di Garut pada hari ketiga. shalat ngebut bersama masyarakat di lingkungan pesantren menjadi tradisi tahunan dan kadang menjadi hiburan, itu dikarenakan setiap shalat ada “yel-yel” yang menggelorakan semangat. Semangat setiap dua rokaat shalat terawih dengan menggunakan kalimat “Asshalatu Lâ ilâha illallâh” menjadi bumbu dalam melakukan shalat sebagai ritual yang membuat sport jangtung. Anda boleh lihat di mesjid-mesjid pedalaman, saya kira modelnya akan mirip-mirip.

Sebenarnya, ada tujuan pokok pesantren dalam memilih model terawih macam ini. Ini lebih dikarenakan oleh waktu yang sempit di bulan Ramadhan untuk mengaji pada program pasaran. Program ini dilakukan pada jam 9 malam dan bisa berakhir pada jam 11 atau 12 malam. Kemudian dilanjutkan pada subuh sampai dzuhur dan di akhiri pada sore hari menjelang maghrib. Ketat bukan? Bila saja waktu dihabiskan oleh shalat terawih, maka waktu belajar akan terkurangi. Ingat, dalam dunia pesantren, pahala mengaji dipandang lebih berlimpah ketimbang ratusan rokaat shalat sunat. Jadi, lebih penting mencari ilmu daripada melakukan shalat sunnat.

Kedua shalat terawih di Tasikmalaya. Sebenarnya kejadian shalat di DKM kami tidak begitu jauh yang nanati akan dijelaskan di bagian akhir (ketiga). Yang kedua ini adalah menjelaskan shalat yang dilakukan oleh mesjid tetangga kami yang mendeklarasikan mesjid Persatuan Islam (Persis). Saya sebut Persis karena banyak simbol-simbol ormas tersebut di mesjid ini dan kebanyakan jemaahnya adalah orang luar penduduk, dan kajian fikihnya juga lebih kepada aliran yang banyak digunakan oleh Persis. Bagi saya itu tidak masalah dan baik baik saja.

Model shalat tawarih yang dilakukan oleh mesjid ini adalah aliran cognitivism. Aliran ini lebih mendahulukan berpikir daripada berprilaku. Jumlah rokaat tidak menjadi ukuran, namun yang penting adalah bagaimana terawih menjadi bagian penting dalam mengkaji keislaman. Sehingga dalam prosesnya, tidak jarang waktu untuk shalat terawih lebih pendek ketimbang ceramah sebelum shalat. Bisa jadi ceramah 45 menit dan shalat 30 menit. Terawih model ini mementingkan bagaimana islam dipikirkan dan menjadi ilmu yang wajib diketahui oleh jemaah.

Shalat terawih di mesjid itu berjumlah 11 rokaat yang kadang dalam prosesnya menggunakan surat yang panjang atau pun surat yang pendek. Namun jelas, surat-surat bacaan tidaklah mirif dengan model behaviourism pada model pertama. Untuk mengefektifkan juga, di mesjid ini menggunakan shalat dengan 4 rokaat satu salam sehingga shalatnya bisa dilakukan dalam tiga sesi, sesi pertama dan kedua 4 rokaat terawih dan 3 rokaat shalat witir untuk sesi terakhir. Simple dan bisa lebih cepat. Saya melihat, ceramah qobla terawih lebih dominan ketimbang shalatnya, bahkan seorang teman yang sering mengikuti di sana, lebih banyak mendengar ceramah daripada melakukan shalatnya. Ini menunjukan bahwa aspek berpikir lebih dominan daripada berprilaku (baca: shalat)

Ketiga shalat terawih di mesjid pesantren DT Bandung. Sebagai pesantren yang unik dan berbeda dari nomenklatur pesantren normal, DT adalah pesantren dengan cara yang berbeda. Bukan kitab kuning yang menjadi otoritas, tetapi program-program ke-Islaman yang diutamakan. Dengan cara itu, maka pesantren ini menggunakan terawih sebagai bagian dari program keislaman dimaksud. Jadi terawih merupakan instrumen terpenting dalam program Ramadhan, dan mungkin menjadi pembeda dengan program di luar Ramadhan.

Yang dilakukan DT dalam menyikapi perdebatan jumlah terawih adalah dengan menggunakan dua sesi yang berbeda. Dua sesi ini adalah untuk mensolusikan perdebatan jumlah rokaat. Ia melakukan 11 rokaat dan 23 rokaat sekaligus dalam satu rangkaian terawih. Hal ini sama dengan yang kami lakukan di Tasikmalaya, dimana jemaah diberikan kebebasan untuk memilih jumlah rokaat. Dalam istilah lain, ormas NU (dan sejenisnya semisah NW, Mathlaul Anwar, Ormas Habaib, dan seterusnya) yang selalu mewakili 23 rokaat yang berbeda dengan Muhammadiyah (dan utamanya Persis) yang menganut 11 rokaat dapat di akomodasi seluruhnya. Jadi ini adalah solusi yang baik. Saya ingat shalat model ini ketika di mesjid raya Solo pada tahun 2012 an.

Model shalat terawih pada DT beraliran constructivisme. Aliran ini lebih memadukan dua aliran sebelumnya (baca: behaviourisme; sikap dan cognitivisme; berpikir). Di awal sebelum shalat terawih diadakan kajian selama 15 menit untuk berpikir tentang keislaman. Lalu kemudian sholat dilakukan dengan inovasi untuk menjangkau semua kalangan. Untuk yang rokaat sebelas, maka shalat dilakukan dengan menggunakan ayat-ayat panjang. Tadi malam saya mengikuti shalat dengan satu juz Qur’an, tepatnya juz keempat (sesuai malam keempat).

Setelah sesi pertama selesai, maka untuk pengikut 11 rokaat diberi waktu 5 menit untuk witir dan istirahat bagi yang ingin melanjutkan 23 rokaat. Bisa dipastikan, ruangan mesjid jadi berkurng karena mayoritas jemaah sudah lelah dengan shalat 11 rokaat dengan ayat-ayat yang sangat panjang itu. Hanya merekalah yang terpilih yang mengikuti samapi 23 rokaat, nah saya? Ga usah tanya yah.

Aliran konstruktivisme dalam shalat ala DT dan kebanyakan mesjid di perkotaan ini adalah hasil dari kajian mendalam tentang bagaimana shalat di satu sisi sebagai prilaku yang didrillkan, namun disisi lain program Ramadhan dalam meningkatkan pengetahuan pun harus dijalankan. Maka inovasi untuk menjawab segala perdebatan disolusikan dengan cara seperti ini. Berpikir tidak terlalu panjang pada qobla shalat lalu memanjangkan waktu shalat dengan dua sistem yang berbeda. Ini solusi cerdas, dimana shalat dengan tradisi ngebut digeserkan dengan shalat tradisi kalem. Bagi yang biasa ngebut bisa ngambil yang 11 pada model shalat ini, toh waktunya juga seimbang. Bagi yang biasa mendengar ceramahpun bisa mendengar ceramah sebelum shalat walaupun waktunya tidak terlalu lama, toh tidak wajib untuk mengikuti yang 23 rokaat. Adil kan?

Ketiga aliran ini; behaviourisme, kognitivisme dan konstruktivisme memiliki alasan masing-masing untuk dilaksanakan. Bagi yang 23 rokaat yang behaviourisme, mereka bisa menambali berpikirnya dengan program pasaran. Bagi yang 11 rokaat yang kognitivisme, mereka bisa menambali jumlah shalatnya di rumah masing-masing. Bagi yang rekonstruksionisme tidak usah menambal lagi karena sudah lengkap dalam satu paket shalat terawih. Tapi awas apabila ada inovasi shalat ngebut dengan 11 rokaat yang tidak beeralasan atau saking memperdebatkan jumlah rokaat akhirnya tidak melakukan shalat tawawih. Itu mah mencari kesempitan dalam kesempatan. Gak boleh gitu ah, malu sama syetan.

***
Orang boleh berbeda dalam memandang kualitas dan kuantitas ibadah.
Orang pun boleh tidak sama dalam menerjemahkan cara beribadah.
Orang pun boleh tidak mirif dalam menafsirkan ayat-ayat ibadah.
Yang penting semua berasal sama dari Qur’an dan Sunnah.

Yang tidak boleh itu, orang tidak melakukan ibadah.
Yang enggak boleh itu, orang meninggalkan syariah.
Yang haram itu, orang lupa Tuhan yang wahdah.
Karena itu mutlak kunci menggapai jannah.

Gegerkalong Girang, 30/5/17

 

[caption caption="zakimu79"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun