Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesantren Daarut Tauhid, Surga Kuliner dan Ibu Pemulung

29 Mei 2017   22:57 Diperbarui: 30 Mei 2017   04:17 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, ibu pemulung. Awalnya saya tidak mengira bahwa ia adalah seorang ibu-ibu. Saya tahu ia seorang wanita ketiga pedagang kuliner menyapanya dengan “bu, awas hati-hati bu”. Tanpa simbol kewanitaan, ia mendorong roda yang menurut saya beratnya lebih dari 20 kwintal. Isi dari gerobak itu ternyata kumpulan barang bekas yang bertumpuk menggunung sehingga terlihat berat dan menyesakan. Dengan sekuat tenaga, ibu ini mendorong gerobak sabilul hayat (jalan kehidupan)nya dengan tertatih-tatih. Ingin sekali saya menolongnya tapi waktu itu tidak tepat.

Anda bayangkan saat itu adalah jam 16.30, tepat 30 menit selesainya buka puasa. Saya yang bergegas ingin cepat masuk ke mesjid DT terhalang jalannya oleh seorang ibu yang sedang berjuang dengan gerobaknya. Kadang jalan gerobaknya limbung ke tengah jalan dan hampir menabrak mobil didepannya. Dengan sepatu both warna hijau yang ia kenakan, tenaganya hampir tak kuat untuk mendorongnya. Semua mata menatapnya tapi semua tak kuasa untuk membantunya. Termasuk saya. Dalam hati saya berkata, “mungkin saya lah yang paling berdosa membiarkan ibu ini untuk bekerja seperti ini”. Dalam hati saya menangis, tapi harus kepada siapa saya curhatkan.

Nah, dari tiga pihak tadi saya akan mencoba menanalisis untuk menemukan hubungan mereka dalam satu kesatuan pikiran utuh. Mesjid adalah tempat ibadah ukhrowi, surga kuliner adalah tempat mencicipi duniawi dan bisa jadi ibu pemulung ini adalah keduanya. Mereka yang mengaji qur’an khusu’ di mesjid mungkin akan meyakini bahwa mengajinya adalah hal yang luar biasa, dan amal yang menjadi tiket ke surga. Bisa jadi iya.

Surga kuliner yang menjadi tempat surganya para pencicipi kenikmatan dunia merasa bahwa kenikmatan yang paling indah yang ia cicipi adalah saat menunggu adzan berkumandang dan meneguk segelas air dingin dengan buah-buahan yang segar. Lalu makan nasi dengan bakar ikan yang panas dan bersua bareng dengan teman-teman dalam bingkai buka bersama. Bisa jadi inilah kenangan yang indah yang suatu saat perlu diceritakan kepada anak cucu. Bisa jadi moment makan di surga kuliner ini lah dimana cinta bersemi, persahabatan terikat kuat, atau kekeluargaan yang menghangatkan. Surga kuliner inilah bagian dari kehidupan yang membahagiakan.

Ibu pemulung ini, ia bekerja membanting tulang untuk anaknya. Mungkin ia tidak melantunkan ayat suci seindah qiroat mesjid DT. Tapi ia melantunkan ayat Tuhan dengan cara yang lain. Ia rela ayat kauniah lebih dominan dari ayat qauliah. Ia membaca qur’an dengan cara tertatih-tatih hanya untuk menggapai keridhoa-Nya melalui sesuap nasi untuk anak-anaknya. Ia juga tidak mampu berbahagia ala keluarga yang ceria saat menyantap makan buka puasa di surga kuliner itu. Ia hanya meminta kepada Tuhan untuk segera tiba di penimbangan barang dan mendapatkan upah yang adil. Ia hanya merasa bahagia dimana keringatnya berganti dengan ongokan nasi yang mengenyangkan anak-anaknya. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri tapi ia memikirkan nasib anaknya. Ia bisa saja tidak makan karena ingin membahagiakan anaknya, Ia membesarkan jiwanya untuk sebuah kebahagiaan keluarganya.

Ketika shalat Isya tadi, imam membacakan surat Lukman dan menancap di hati saya “Qola Lukman, Yâ bunayya lâ tusyrik billâh...”. saya bergetar dengan ayat itu. Ya bergetar dalam dimensi yang tidak bisa saya bayangkan. Saya ingat tentang khusu’nya ibadah di DT ini, saya juga melihat keceriaan orang berbelanja di surga kuliner GK itu, tetapi saya sedih dengan ibu pemulung itu. Apakah saya termasuk golongan yang musyrik? Karena saya tahu musyrik itu bukan hanya menyekutukan Allah dengan yang lain, tapi tidak mengikuti perintah Allah atas berbagi dengan orang miskin dan membantunya. Bagi saya itu termasuk musyrik juga. Apakah saya termasuk golongan musyrik? Karena saya tahu membiarkan orang kelaparan dan berbahagia atas makanan sendiri dan khusu’ sendiri beribadah tanpa membantu orang yang dhuafa adalah bagian dari musyrik kepada Allah. Anda mungkin akan bertanya, kenapa saya tidak berpegang teguh pada musyrik sebagaimana musyrik didefinisikan murni menyekutukan Allah? Andai anda tahu, musyrik dalam definisi saya adalah menyekutukan Allah dengan dimensi yang sangat luas, seluas Allah tidak akan memberikan maaf kepada mereka yang musyrik. Bila Anda tidak setuju, tidak apa. Saya bukan ahli agama, tapi saya beragama.

***
Puasa itu menguji seberapa dalam keimanan kita atas dunia yang gemerlap
Puasa itu mengetes seberapa besar cinta kita terhadap dunia yang fana
Puasa itu mengukur seberapa kuat kita atas godaan dunia yang sebentar saja.
Puasa itu berdampak seberapa sensitif atas penderitaan orang lain.

Bila kita membiarkan orang lain kelaparan, maka kita belum berpuasa.
Bila kita membiarkan kaum dhuafa tertindas, maka kita belum berpuasa
Bila kita membiarkan kaum papa termarjinalkan, maka kita belum berpuasa
Karena puasa itu bukan sekedar menahan lapar
Itu adalah tentang sensitifitas membantu orang lain.

Semoga Ibu pemulung itu bahagia.
Daarut Tauhid, 29/5/17

[caption caption="zakimu79"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun