Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kontestasi Pendidikan Agama dan Pendidikan Umum, Siapa yang Menang?

18 Mei 2017   09:53 Diperbarui: 18 Mei 2017   19:03 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(b) bila fungsi kompetisi itu adalah eksistensi, maka apakah eksistensi pesantren dan lembaga agama perlu dikompetisikan?. Ujung dari kompetisi adalah menang-kalah. Lantas, apabila sebuah lembaga pendidikan agama dikalahkan oleh lembaga pendidikan agama lain itu berarti kekalahan kualitasnya?. Saya kira itu juga tidak bisa digeneralisir. Kompetisi eksistensi sebuah lembaga agama, lagi-lagi menurut saya, perlu dihindari agar marwah (kehormatan) lembaganya juga terjamin. Persepsi masyarakat (terutama masyarakat awam) atas hadirnya sebuah fenomena bersifat liar dan binal. Jika sebuah lembaga dikalahkan oleh lembaga lain, bisa-bisa dipersepsikan “lebih” dari sebuah kekalahan kompetisi. Agama sebaiknya menghindari fungsi kompetisi eksistensi ini.

Bagi sekolah umum, yang kualitas pendidikannya sangat umum dan terbuka, kompetisi dengan fungsi eksistensi atau pun prestasi sangat dibutuhkan. Prestasi yang diukur dengan keterbukaan “kebenaran” ilmu memungkinkan untuk dikompetisikan. Eksistensi kualitas lembaga pendidikan umum yang nilainya tidak sakral dan dogmatis perlu di kontestasikan untuk dapat mengevaluasi diri sejauh mana pengembangan ilmu pengetahuan di lembaganya. Satu lemabaga dengan lembaga lain boleh saling “menerkam”. Toh, tidak ada yang dirugikan dalam sakralitasnya. Pendeknya, bila pesantren bangkrut, maka Islam yang jadi taruhannya, tapi bila sekolah bangkrut, yayasanlah (atau negaralah) yang menanggung.

(3) kompetisi dalam dimensi implementasi. Sesuai pengalaman saya yang sedikit berkecimpung di dunia kompetisi baik dunia pendidikan agama maupun umum, ada sedikit perbedaan. Perbedaan ini bisa dibedakan dengan (a) kemeriahannya, (b) anggarannya, (c) elitisitasnya, maupun (d) lokusnya.

Kemeriahan kompetisi pendidikan agama, menurut saya lebih meriah dibanding disiplin ilmu lain. Ini dampak dari bahwa setiap orang memilki agama, tapi semua orang tidak terkoneksi terhadap ilmu umum. Orang beragama akan memeriahkan kompetisi agamanya, sedangkan orang yang tidak paham satu bisang keilmuan di ranah pendidikan umum tidak akan tertarik untuk memeriahkannya. Banyak bukti, bahwa setiap acara dengan sentimen agama, pasti lebih meriah dibandingkan sentimen spesialis “umum”.

Dalam dimensi implementasi anggaran, kompetisi pendidikan agama tidak sehebat kompetisi umum. Contoh kontrasnya adalah ketika pemerintahan daerah menyelenggarakan kompetisi empat tahunan MTQ dengan PORDA, maka anggaran yang dipersiapkan akan jomplang. Keseriusan Porda akan berbeda dengan MTQ, walaupun untuk urusan prestasi tidak ada dikotomi. Pun demikian, acara imtihanan berbasis agama akan jauh berbeda dengan selebrasi berbasis pendidikan umum. Kesederhanaan “seadanya” akan mudah dilihat dari kompetisi agama dibanding dengan kompetisi umum.

Elitisitas atau pamor kompetisi agama tidak sebaik pamor pendidikan umum. Siswa yang berprestasi di olimpiade fisika atau robotik akan digembar-gemborkan media walaupun peringkat buncit. Tapi siswa yang hafidz nomor satu dunia, atau qori terbaik dunia tidak begitu jelas didengungkan oleh dunia media. Hal ini menunjukan bahwa kompetisi pendidikan agama tidak begitu berpamor “elit” bila dibanding dengan pendidikan umum. Untuk menguatkan saja, dalam MTQ dan MQK yang memiliki bahasa agamanya jelas (baca: Arab) harus mengikuti trend “elit” bahasa Inggris dalam implementasinya.

Lokus atau lokasi kompetisi memiliki perbedaan yang jomplang. Pendidikan agama lebih sering dan difokuskan di pedalaman (desa) sedangkan di perkotaan pendidikan umum lebih banyak digaungkan. Dalam dimensi implementasi ini, desa masih merawat agama sebagai sistem kehidupan paling penting, sedang di kota, agama sudah melebur dan bersaing dengan sistem kehidupan yang lainnya. Bila saya mengantar mahasiswa KKN ke daerah pedalaman, maka dimensi KKN agama lebih meriah daripada KKN mahasiswa umum, sedang kota berlaku sebaliknya.

***

Kompetisi memiliki nilai sangat baik dari sebuah dimensi kehidupan dunia, namun itu tidak mutlak untuk dilakukan dalam dimensi akhirat. Ada sisi dimana sakralitas perlu dipertimbangkan, marwah perlu dijaga dan saling membunuh tidak diizinkan.

Selamat menyelenggarakan MQK kotaku, I love you.
Pesantren Nurul Hidayah As’ariyah, 18/5/17

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun