Pendidikan Murah, Siapa Yang Untung?
Oleh: Zaki Mubarak
Saya harus bernostalgia dahulu untuk masuk ke tema ini. Saya adalah orang yang disekolahkan di persekolahan yang dikelola oleh negara (Baca: negeri). Saat itu, orang tua saya yang engap-ngapan untuk membiayai 7 anaknya bersekolah plus pesantren memilki pandangan bahwa sekolah negeri adalah sekolah murah. Pandangan ini mewakili pandangan saat itu, dimana memang sekolah itu murah dan memiliki kualitas yang sama.
Sekolah negeri waktu itu hanya membayar SPP tanpa dibebani biaya lainnya. Buku tinggal pinjam ke perpustakaan, ujian tinggal ikutan dan luluspun tak ada biaya yang besar. Hal ini berbeda sedikit dengan sekolah swasta dimana biaya SPP lebih tinggi, setiap ujian harus ada biaya tambahan dan kalau ada kegiatan sekolah harus bayar. Itu normal, karena biaya swasta ditanggung oleh siswanya sedangkan biaya negeri ditanggung negara. Namun, bedanya tidak terlalu mencolok.
Setelah era reformasi, ada perubahan signifikan. Awal 98 saya masuk univeristas di bawah kementerian Agama, dan dihitung masih murah. Karena berbagai masalah, saya pun keluar dan mulai masuk universitas swasta. Di sanalah saya mulai agak paham begitu timpangnya biaya lembaga negeri dan swasta. Pendidikan tinggi rupanya memiliki kasus serupa dengan pendidikan sebelumnya, walaupun bedanya sangat mencolok. Jadi saya simpulkan swasta lebih mahal ketimbang negeri.
Namun, kondisi negeri berubah. Setelah adanya Undang-undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) untuk universitas, dan setelah munculnya entitas baru dalam persekolahan, maka pembiayaan pendidikan berubah. Universitas negeri BHMN dan bahkan diikuti yang non-BHMN menaikan biayanya. BHMN adalah swastaisasi universitas negeri, jadi mereka harus mencari uang sendiri untuk menghidupi rumah tangganya. Salah satu sapi yang diperasnya adalah mahasiswa. Jadi BHMN dan diikuti oleh BHMN adalah gerbang masuk mahalnya pendidikan tinggi negeri. Bayangkan, S2 saya harus dibiaya 35 juta di negeri sedangkan swasta hanya 20 juta.
Bagi persekolahan kini, sekolah yang relatif murah baik swasta maupun negeri telah dikaji oleh para pebisnis persekolahan. Mereka berpikir perlu menciptakan sebuah segmen persekolahan baru sebagai jawaban ketidak puasan para kaum kaya. Saat itu sekolah hampir sama kualitasnya; kurang berkualitas. Kemudian mereka menciptakan segmen ini dengan berbagai identitas diantaranya; sekolah internasional, sekolah Islam terpadu, sekolah alternative, home schooling, sekolah bilingual, atau sekolah sejenis lainnya. Tagline sekolahnya sama “sekolah lebih berkualitas”.
Prinsipnya, sekolah jenis ini adalah sekolah yang menjadikan lembaganya sebagai alat untuk menambang rupiah dengan menjual sesuatu yang tidak ada di persekolahan biasa, baik negeri ataupun swasta. Dengan sentiment kualitas internasional, memadukan Islam dalam persekolahan (laiknya madrasah, tapi dengan konsep yang berbeda), dwibahasa Inggris-Indonesia, fokus pada bakat, maka sekolah mampu mengkatrol citra persekolahan di dalam benak masyarakat. Sekolah ini dipersepsikan sekolah baik, luar biasa, hebat, berkualitas, bermartabat dan yang paling penting bergengsi.
Ternyata, segmen ini berhasil diciptakan dan laku. Agar berbeda dengan persekolahan biasa, maka daya beda mulai diciptkan untuk meningkatkan bonafiditas sebuah produk (sekolah). Harganya harus mahal, karena semakin mahal orang kaya akan merasa lebih tinggi dihargai gengsinya ketimbang anaknya sekolah di persekolahan biasa. Fasilitasnya harus lebih mutakhir, karena orang membayar tinggi harus dibayar dengan kualitas mumpuni. Promosinya harus elit, karena elitnya perkenalan akan masuk ke segmen elit pula. Jadi klop lah segemen ini menjadi sebuah sekolah yang dikategorikan sekolah bonafid, komersil dan sangat bergengsi.
Sekolah ini telah menciptakan adagium baru di benak masyarakat; “sekolah bagus adalah sekolah mahal”. Sebaliknya, sekolah murah adalah sekolah biasa-biasa saja, untuk orang biasa, fasilitas biasa, dan gurunya pun biasa. Kategori sekolah ini adalah sekolah milik negara, milik perorangan yang biayanya biasa, atau sekolah yang lahir dari pengabdian kepada masyarakat bernama pesantren, komunitas tokoh daerah, dan tokoh-tokoh pendidikan idealis dengan kocek yang pas-pasan. Sekolah ini tidak berdaya dengan menaikan harga seharga sekolah komersial.
Untungnya, sekolah kategori murah di atas adalah kelas yang jumlahnya sangat besar. Sekolah dengan tipe komersialisasi banyak berkembang di perkotaan, walaupun belakangan berkembang pesat di daerah pinggiran. Seperti seniornya, sekolah bonafid pinggiran ini menjual sentiment agama, internasional, bilingual yang dikemas menjadi baru. Mereka menggunakan standar yang sama, dengan tujuan sama: menjerat pendidikan untuk menghasilkan uang. Bagi sekolah murah, mereka adalah kompetitor tangguh, dan sepertinya bukan tandingannya. Masyarakat pun semakin tahu diri untuk sistem persekolahan ini, mereka menyesuaikan diri sesuai isi dompetnya.
Karena besarnya jumlah sekolah murah, maka kekuatan yang mereka miliki adalah basis masa. Mereka tidak memiliki uang, fasilitas ataupun kualitas yang bisa dijual selayaknya sekolah komersial. Jumlah masa inilah yang kemudian dijadikan jualan politik para politikus. Mereka berharap jadi penguasa dengan menjadikan kelemahan keuangan sekolah murah sebagai umpannya. Sekolah gratis melalui sistem BOS, tidak ada pungutan sekolah, Kartu-kartu pintar ala KJP dan lainnya dapat mengubah raut muka orang tua menjadi lebih ceria adalah janji-janji politis yang populis. Lalu, apa yang terjadi?, tentu saja mereka menang dan harus merealisasikan janjinya.