Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tangisan Untuk Madrasah

8 Mei 2017   05:12 Diperbarui: 8 Mei 2017   08:51 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(3) dimensi citra. Politik anggaran yang dilakukan di negeri ini ternyata berdampak kepada citra madrasah. Lahirnya madrasah di pusat pendidikan pesantren menjadi keuntungan sendiri terutama bagi kalangan dunia pesantren. Harus kita akui bahwa dunia pesantren adalah dunia yang egaliter dan mampu menjangkau semua komponen bangsa dari bangsawan sampai rakyat jelata. Kebanyakan alumni pesantren adalah kaum rakyat jelata yang middle-low economy status. Kaum kaya biasanya lebih memilih sekolah ketimbang pesantren. Dengan demikian, pesantren diminati oleh mereka yang memilki tingkat ekonomi yang menengah ke bawah. Fasilitas yang mereka miliki tidak sehebat sekolah.

 Sekolah lebih banyak disokong oleh pemerintah sedangkan madrasah lebih banyak disokong masyarakat. Lihat saja perbedaan SD negeri dan MI negeri di satu daerah, mana yang dominan? Lihat saja SMP negeri dengn MTs negeri, mana yang banyak? Dan seterusnya. Dampaknya, sekolah itu dipersepsikan dimiliki pemerintah, sedangkan madrasah banyak dimiliki oleh masyarakat. Jadi sebenarnya, siapa yang unggul? Siapa yang lebih baik? Dari sisi fasilitas, tentu saja negara lebih unggul karena mereka ngambil uang dari masyarakat untuk menjadi kaya, tapi dari sudut partisipasi masyarakat untuk pendidikan, madrasah lebih unggul, walaupun biayanya wala yahya wala yamut. Dari sanalah orang “kecil” lebih memilki akses ke madrasah dan PTKI ketimbang ke sekolah atau PTU. PTKI lebih bermaslahat untuk orang kecil daripada PTU. Orang kecil lebih banyak lulusan madrasah ketimbang sekolah. Jadi untuk urusan orang “miskin” rerata madrasah lebih berperan ketimbang sekolah. Hebat ya. Dari sebab faktor inilah lahir sebuah citra. Sekolah di citrakan dengan sangat baik oleh pemerintah, ia memiliki SDM yang hebat, ia memiliki fasilitas yang lengkap, ia bisa meluluskan lebih baik, ia memiliki murid yang high achiever dari yang lain, dan seterusnya. 

Sedangkan, madrasah dipersepsikan sebagai persekolahan yang memiliki SDM seadanya, fasilitas yang empot-empotan, lulusannya tidak berkualitas, dan taraf intelektualitasnya berkategori low achiever. Inilah beda citra madrasah-sekolah yang suka tidak suka, senang tidak senang, sadar tidak sadar, rela tidak rela telah menancap kepada setiap mind set masyarakat kita. Saya adalah contohnya. Saya lahir di pesantren, tapi tidak pernah mengenyam pendidikan madrasah. Karena ayah saya yang guru madrasah itu, tidak mau anaknya di madrasah. Itu bukti. Walaupun ayah saya masih percaya bahwa pesantren adalah segala-galanya, jadi bagaimana memadukannya, jadilah saya anak sekolah dan anak pesantren. Klop sudah.

Sebenarnya masih banyak dimensi yang dapat membuat air mata ini bercucuran. Kita Bahas nanti saja. Namun hari ini saya bisa berbangga, karena masih begitu banyak orang yang peduli dengan madrasah, masih begitu gembiranya anak yang masuk madrasah, masih begitu riuhnya masyarakat menyambut madrasah, masih hebatnya para aktivis madrasah. Mereka begitu sempurna di mata saya untuk sebuah kehidupan, mereka begitu kerennya untuk sebuah ketulusan, mereka begitu sahdunya untuk sebuah ketawadhuan, mereka begitu ahli surganya untuk sebuah semangat. Saya bangga padamu pak, bu, dek, kak. Walau saya tidak mengenyam madrasah sepertimu, kalian menginspirasi saya sebagai seorang yang masih memiliki iman. Tangis kebahaigan ini hanyak milikmu, sebuah tangis kemuliaan yang tak pernah berhenti ini selalu untuk mendukungmu, setitik air mata ini untuk terus mengaabdi calon-calon gurumu, dan tak lupa sebuah tangis ini untuk seorang ayah yang mendidik saya untuk selalu mencintaimu. Terimakasih Ayah, dengan sisa umurmu, dengan sakitmu yang orang lain mencibirmu, dengan lelahmu yang begitu penat mengurusku, kau masih di hatiku, untukmu dan madrasahmu, perjuangan ini akan tetap kutancapkan sampai akhir hayatku.{}

Tetesan air mata untuk ayah, sang pemabuk madrasah.
Bumisyafikri, 8/5/17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun