Sebagai Guru Agama, Ayah mengarahkan anak-anaknya untuk mengambil sekolah agama dibanding sekolah umum. Tapi beliau tidaklah memaksakan kehendaknya, seperti kakak perempuanku yang sekolah di SMEAN 3 Surakarta (sekarang menjadi SMKN 3), anak-anaknya bebas memilih sekolah yang diingankan. Aku sendiri banyak menjalani pendidikan di instansi pendidikan keagamaan, dimulai dari Rodlotul Atfal (RA) Surdiman (setingkat TK), kemudian melanjutkan ke sekolah yang lokasinya tepat didepan TK tadi yaitu Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Mendungsari, dan trendnya memang lulusan RA Sudirman biasanya ke MIM Mendungsari. Pada saat itu progam pemerintah tentang ujian akhir nasional sebagai syarat kelulusan belum ada, tapi ujian akhir nasional yang biasa disebut UAN ada. Nilai UAN tersebut yang menjadi acuan jenjang pendidikan selanjutnya. Nilain UAN.ku tidaklah tinggi, tapi juga tidak terlalu rendah. Untuk masuk SMP Negeri Gondangrejo sepertinya cukup, karena ada teman dengan nilai yang hampir sama bisa masuk ke sekolah tersebut. Tapi kuputuskan masuk di MTsN Gondangrejo, seperti trend masuk MIM Mendungsari tadi, trend lulusan MIM Mendungsari melanjutkan sekolah di MTsN Gondangrejo, disamping trend tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa sesepuh kampung yang menjadi guru di MTsN Gondangrejo. Sistem kelulusan berdasarkan nilai UAN juga belum ada pada saatitu, jadinya santai dan tidak ada yang terlalu stress yang bahkan bisa sampai bunuh diri.
Setelah lulus MTs, aku ingin sekolah SMA di Solo. Sebelum nilai UAN diumumkan, aku sudah berandai-andai masuk di salah satu SMA negeri di Solo. Aku mencari informasi sebanyak mungkin, dimana SMA solo yang gradenya tidak terlalu tinggi yang bisa aku masuki dengan nilai UAN.ku yang sangat tanggung. Akhirnya dapatlah SMAN 6 Surakarta. Di Solo pada saat itu ada sebuah aturan dimana siswa dari luar kota Solo hanya mendapatkan 10% kuota total dari penerimaan siswa, yaitu sekita 30an orang, MTs.ku sendiri posisinya diluar kota Solo, tepatnya di Kabupaten Karanganyar. Siapa yang dengan nilai tinggi dan bisa masuk dalam 30 besar pelamar akan diterima sebagai siswa di sekolah tersebut. Pada hari pertama, nilai UAN.ku masih cukup untuk bertarung dalam 30 besar siswa yang bisa masuk SMAN 6. Sayangnya di hari terakhir aku terlempar keluar dari 30 besar. Aku melihat daftar pelamar dalam kota, aku lihat seandainya aku lulusan dalam kota Solo, pasti aku bisa diterima di sekolah tersebut. Dengan perasaan kecewa, sedih dan campur aduk, aku memendam impiah sekolah di SMAN 6.
Setelah gagal di SMAN 6 Surakarta, aku pergi ke MAN 1 Surakarta, tentunya dengan perasaan kecewa dan setengah hati mendaftar. Sekolah ini adalah sebuah sekolah keagaaman yang menjadi langganan tempat sekolah warga kampungku. Kenapa tidak ke MAN 1 Gondangrejo dimana posisinya tepat disamping MTsN 1 Gondangrejo? Karena orang-orang ingin merasakan sekolah di Solo, dibanding terus di Gondangrejo yang agak jauh dari hingar bingar Solo. Tapi kekecewaanku tidak bisa masuk SMA 6 Surakarta tadi tidak bertahan lama, hanya bertahan sampai aku menemukan banyak hal menarik dan teman yang menyenangkan di MAN 1 Surakarta. Seperti ada yang bilang “Masa SMA adalah masa TERINDAH”.
Setelah lulus dari MAN, aku ingin masuk perguruan tinggi. Ada beberapa pilihan; Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitar Muhammadiyah Surakarta (UMS), atau Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STAIN) Surakarta, yang sekarang jadi IAIN Surakarta. Prioritas utama adalah UNS, dengan grade tertinggi diantara 3 pilihan tersebut, dan tentunya memiliki pride lebih. Ada dua pilihan jurusan yang kuambil. Pilihan pertama adalah Pendidikan Matematika, pilihan ini sangatlah berat, aku sendiri tidak yakin bisa bersaing, di tahun sebelumnya Pendidikan Matematika ini berada di urutan tiga besar jurusan dengan peminat terbesar bersama dengan Pendidikan Dokter dan Teknik Kimia kalau tidak salah. Sebagai antisipasi agar tetap bisa kuliah di UNS, aku memilih jurusan dengan Grade tidaklah tinggi di pilihan kedua, yaitu jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP). Ketika pengumuman, aku masih ingat membaca koran Solopos di warung kelontong di daerah Pabelan. Aku sujud syukur karena nomor SNMPTN.ku muncul. Aku tidak tahu jurusan mana yang menerimaku, tapi yang penting nomorku muncul. Setelah aku cek, ternyata aku diterima di Penyuluhan dan Komukasi Pertanian, bukan Pendidikan Matematika pilihan pertamaku. Ada rasa kecewa, kenapa bukan Pendidikan Matematika? Tapi ada rasa senangnya juga bisa kuliah di UNS.
Di UNS, aktifitasku tidak hanya kuliah saja. Aku aktif di beberapa organisasi; BEM UNS, Gamakomta (HMJ Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian) dan organisasi kemahasiswaan lainnya. Waktu lima setengah tahun kubutuhkan untuk menyelesaikan kuliah S1.ku. Kesibukan organisasi kemahasiswaan tidak aku jadikan alasan terlambatnya kelulusan ini. Malah organisasi kemahasiswaan inilah yang menjadi hiburan untukku, banyak bertemu orang-orang luar biasa, dan bisa belajar banyak. Awalnya ketika proses kelulusanku (skripsi red.) kurang lancar, aku merasa kecewa; kenapa aku tidak bisa lulus cepat seperti yang lainnya, mereka bisa lulus empat atau empat setengah tahun. Ketika semangat mengerjakan penelitian dan skripsiku menurun, ada teman-teman yang memberikan semangat. Alhamdulillah bisa lancar dan bisa lulus lima setengah tahun.
Setelah lulus S1, dengan menunggu beberapa bulan, aku melanjutkan S2 di Gifu University, Japan. Cerita lengkapnya bisa dilihat di; satu, dua, tiga, empat, lima dan enam. Selesai S2, aku melanjutkan S3 di universitas yang sama, InsyaAlloh akan lulus pada bulan Maret ini.
Bisakah anda melihat benang merah pada ceritaku ini?
Alur kehidupanku ini mengantarkanku bisa sekolah di Jepang. Bisa pergi dan merasakan Jepang; sebuah negara yang aku impikan sejak lama. Bisa mengantarkanku bertemu sahabat-sahabatku sekarang. Bisa mengantarkanku bertemu istriku sekarang. Bisa mengantarkanku pada banyak hal yang diluar jangkuan.
Coba seandainya aku tidak sekolah di MTsN Gondangrejo? Pasti aku tidak akan bisa berada pada posisi aku sekarang. Dimana dan sedang apa aku sekarang, aku tidak tahu.
Coba jika akhirnya aku sekolah di SMAN 6 Surakarta? Pasti aku tidak akan berada pada posisiku sekarang ini. Apakah aku pergi kuliah atau tidak, aku tidak tahu.
Coba jika akhirnya aku diterima di jurusan Pendidikan Matematika UNS bukan PKP FP UNS? Pasti aku tidak akan bertemu kesempatan kuliah di Jepang. Mungkin saja aku sudah menjadi guru di sebuah sekolah.
Coba seandainya aku lulus empat atau empat setengah atau lima tahun. Pasti aku tidak akan bertemu kesempatan kuliah di Jepang. Mungkin saja aku sudah menjadi penyuluh pertanian atau bekerja di kelapa sawit, maklum saja dulu pernah berpikir untuk bekerja di kelapa sawit karena gajinya lumayan.
Seandainya alur kehidupan yang kulalui bukan seperti yang kutulis ini. Mungkin saja aku akan jadi itu, atau mungkin saja aku akan jadi ini.
Ternyata apa yang terjadi pada kita itu sudah ada yang menentukan. Baik-buruk itu relatif. Bisa jadi saat ini menurut kita buruk, tapi di masa depan baik buat kita. Penilaian kita terhadap apa yang kita dapat selalu berdasarkan penilaian subjektif kita. Makanya kecewa, marah, dan sedih selalu terjadi saat apa yang kita dapat tidak sesuai dengan harapan. Aku yakin hal yang kurasakan ini pernah dirasakan oleh banyak orang. Apa yang tidak sesuai harapan, bisa jadi kejutan di masa depan. !!.
Alhamdulillah, aku sangat bersyukur atas jalan dan takdir yang sudah kulewati. Semoga Alloh selalu memberikan hidayah kepadaku. aminnn
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H