Kehadiran Kartu Pra Kerja kembali menuai polemik di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Setelah sebelumnya menjadi perdebatan yang cukup hangat, ketika diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai salah satu program unggulannya dalam kampanye Pemilihan Presiden Tahun 2019 lalu. Pada saat ini, ketika  genap satu bulan sejak diluncurkan pada 20 April 2020 lalu, eksistensi program Kartu Pra Kerja kembali dipertanyakan. Â
Dengan besarnya anggaran yang dialokasikan, yakni Rp. 20 Trilliun, banyak anggota DPR , politisi dan pengamat kebijakan publik di Republik ini yang menilai miring kebijakan program Kartu Pra Kerja ini. Mulai dari fungsinya, manfaatnya, penggunaannya, hingga kepada para perusahaan/pihak ketiga yang akan menjadi mitra.Â
Tapi sebenarnya, apa sih program Kartu Pra Kerja ini? Kenapa harus dipolemikkan? Mari kita bahas bersama.
Jika kita buka website dari program ini, yakni www.prakerja.go.id, yang dimaksud dengan Kartu Pra Kerja adalah bantuan biaya pelatihan bagi masyarakat Indonesia yang ingin memiliki atau meningkatkan keterampilannya.Â
Bagi pencari kerja, buruh, karyawan dan pegawai, akan diberikan bantuan keuangan dalam bentuk  saldo di dalam kartu prakerja, yang nantinya digunakan untuk membeli program pelatihan-pelatihan dari perusahaan mitra Kartu Pra Kerja guna peningkatan skill dan kemampuan sebelum memasuki dunia kerja yang dituju.Â
Jika kita lihat, tidak ada yang salah dengan kebijakan ini. Justru kebijakan ini sedang mencoba menjawab salah satu permasalahan utama para tenaga kerja diIndonesia, yakni rendahnya skill dan kemampuan.
Rendahnya skil dan kemampuan berdampak kepada terbatasnya lapangan kerja yang sesuai dengan kompetensi para pencari kerja. Salah satunya adalah dunia industri. Masih hangat diperbincangkan, tentang kehadiran 500 orang tenaga Kerja Asing yang ditolak masuk ke salah satu Provinsi di Sulawesi.Â
Perusahaan yang mengontrak TKA asing tersebut menilai bahwa TKA yang didatangkan memiliki kompetensi yang tidak dimiliki oleh Tenaga Kerja di Indonesia, yakni menginstalasi dan mengoperasionalkan beberapa alat produksi perusahaan mereka. Cukup bingung mendengarnya.Â
Tapi apa mau dikata, itulah yang terjadi. Kehadiran program Kartu Pra Kerja tentu diharapkan juga bisa mengatasi permasalahan seperti ini kedepannya.
Selain itu, program Kartu Pra Kerja juga memberikan pengenalan-pengenalan tentang pekerjaan di bidang IT, enginering, ekonomi, tekhnik menghadapi interview pekerjaan, media sosial, pengembangan bisnis IKM, bahkan lapangan kerja apa saja yang sedang di butuhkan dunia dan di indonesia saat ini, informasi tersebut bisa didapatkan di blog Kartu Pra Kerja. Cukup lengkaplah, bagi sebuah platform baru yang dimiliki oleh pemerintah, bukan swasta.
Namun dari beberapa kelebihannya, ternyata kartu prakerja juga memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya adalah, konten-konten pelatihan yang akan dibeli kepada perusahaan mitra Kartu Pra Kerja. Ternyata, konten pelatihan yang tersedia dirasa belum bisa menjawab kebutuhan para pencari kerja. Bahkan banyak pelatihannya agak sedikit aneh dan berbiaya cukup mahal.Â
Seperti pelatihan make up online, mulai dari Rp. 500 ribu, membuat konten Youtube Rp. 300 ribu, membuat mpek-mpek Rp. 600 ribu, membuat kroket Rp. 400 ribu, menjadi barista, Rp. 500 ribu, pelatihan ojek online Rp. 1 Juta, hingga pelatihan memancing Rp. 700 ribu. Padahal beberapa pelatihan tersebut bisa dicari dengan gratis di Google ataupun Youtube, kenapa harus berbayar?
Selain persoalan tersebut, Kartu Pra Kerja ini sepertinya terlalu memaksakan sebuah program baru. Sebuah program yang sebenarnya sudah dimiliki oleh Pemerintah pusat dan daerah.Â
Karena pada intinya, pemerintah sedang berupaya mencarikan solusi atas tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Ini bukan hal yang baru bagi pemerintah dan sudah ada unit kerja yang bisa menjawab permasalahan ini. Balai Latihan Kerja (BLK) adalah salah satunya.
Kenapa tidak dimanfaatkan BLK ini? Jika ada yang menilai bahwa selama ini BLK kurang optimal, ya dioptimalkan saja. Diperbaharui, ataupun direstrukturisasi modelnya. BLK yang sudah ada disetiap daerah tinggal diberikan sentuhan kekinian dari pemerintah.Â
Misalkan, dengan menerapkan pola administrasi yang tidak rumit, persyaratan yang tidak kaku, kemudian menggunakan model-model pelatihan baru yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini di lokal maupun internasional. Mungkin ini adalah salah satu solusi paling jitu, dari pada membuat sebuah program baru yang belum bisa diukur keluarannya.
Selain itu, BLK bisa dinilai lebih efektif, karena para peserta mengikuti pelatihannya secara langsung, tidak secara online. Sehingga para peserta bisa mempraktekannya dan bisa dibimbing langsung oleh para pelatih.
Kelebihan BLK lainnya adalah, mereka telah banyak bekerjasama dengan perusahan-perusahaan di Indonesia, sehingga nantinya para peserta pelatihan dapat direkomendasikan kepada perusahaan tersebut untuk bekerja.
Sedikit menggelitik memang. Karena tidak mungkin Pemerintah tidak mengetahui hal ini. Apa mau dibubarkan saja itu BLK kedepannya? Dengan banyaknya jumlah aset dan anggaran yang telah digelontorkan pada BLK selama ini, rasanya tidak mungkin.Â
Tapi apakah bisa dipertahankan? Karena toh program dan keluarannya sama dengan Kartu Pra Kerja. Jangan sampai pemerintah mengeluarkan dua anggaran untuk satu program dan tujuan yang sama. Salah itu namanya.
Pemerintah semestinya jangan terburu-buru mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru, terutama menyangkut hajat hidup orang banyak. Boleh saja jika ini adalah upaya merealisasikan janji politik, namun apabila masih bisa dikolaborasikan dengan kebijakan yang telah ada, tentu akan lebih baik.Â
Jangan sampai masyarakat menerka bahwa program ini hanya menjawab kebutuhan sekelompok kalangan, bukan menjawab kebutuhan mereka. Karena bisa dipastikan, bahwa dukungan politik ketika berkampanye pasti sarat akan kepentingan. Kepentingan siapa saja? Wallahu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H