Mohon tunggu...
Zaki Dwirifqi
Zaki Dwirifqi Mohon Tunggu... Akuntan - ZAKII

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjadi Pemimpin Bisnis yang Berintegritas: Penerapan Etika Islam dalam Praktik Bisnis

10 Januari 2023   19:21 Diperbarui: 10 Januari 2023   19:27 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara etimologis, kata etika (dari bahasa Yunani ethikos) mempunyai banyak arti yang berbeda-beda: pertama, sebagai pemeriksaan terhadap pengertian-pengertian tentang apa yang seharusnya, seharusnya, kewajiban, kaidah-kaidah moral, benar dan salah, wajib, dan lain sebagainya. -lainnya. . Kedua, mempraktekkan akhlak atau perilaku moral seseorang. Ketiga, menjalani kehidupan yang lurus secara moral. 

Ahmad Amin mengatakan bahwa etika atau moral adalah ilmu yang menjelaskan apa arti baik dan buruk, apa yang harus dilakukan manusia kepada orang lain, apa tujuan tindakan manusia, dan bagaimana melakukan apa yang perlu dilakukan. Dalam bukunya "Ethics", K. Bertens mengatakan bahwa ada tiga cara berpikir tentang etika: Pertama-tama, istilah "etika" mengacu pada prinsip dan standar moral yang mengarahkan individu atau kelompok dalam bertindak. Kedua, etika dalam arti seperangkat prinsip, nilai, atau pedoman moral. Ketiga, etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang positif dan negative.

Menjadi pemimpin bisnis yang berintegritas sangat penting dalam menjalankan bisnis sesuai dengan nilai-nilai etika dan moral. Dalam perspektif Islam, integritas sangat dihargai dan dianggap sebagai salah satu kualitas utama seorang pemimpin yang baik.
Penerapan etika Islam dalam praktik bisnis dapat membantu meningkatkan kinerja bisnis, memperkuat reputasi perusahaan, dan menciptakan lingkungan kerja yang positif. Dalam Islam, prinsip-prinsip seperti kepercayaan, keadilan dan kejujuran dikembangkan dan diimplementasikan dalam bisnis.

Selain itu, penerapan etika bisnis Islam juga dapat membantu mengatasi permasalahan etika yang mungkin dihadapi dalam praktik bisnis. Misalnya, dalam Islam dijelaskan bahwa berbisnis harus dilakukan secara adil dan tidak boleh merugikan pihak lain. Hal ini mengurangi risiko bisnis yang diperkuat oleh praktik tidak etis, seperti penipuan, kekerasan, atau diskriminasi.

Secara keseluruhan, menjadi pemimpin bisnis yang berintegritas dan menerapkan etika Islam dalam praktik bisnis dapat membantu menciptakan lingkungan bisnis yang lebih baik, baik bagi perusahaan maupun masyarakat pada umumnya. Namun perlu diingat bahwa implementasi etika Islam dalam bisnis tidak selalu mudah karena harus disesuaikan dengan konteks bisnis yang berbeda.
Selanjutnya, dari penerapan etika bisnis Islam, praktik bisnis juga harus menerapkan prinsip keadilan sosial. Seperti misalnya memberikan kesempatan kerja yang sama bagi setiap individu tanpa terkecuali, memberikan hak yang sama kepada konsumen, dan tidak memperlakukan pihak lain.

Selain itu, dalam berbisnis harus menjauhi unsur riba (bunga) yang diharamkan dalam Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan menghindari transaksi bisnis yang berhubungan dengan riba, seperti pinjaman dengan bunga tinggi, atau berinvestasi pada sektor yang diharamkan dalam Islam, seperti perjudian atau produk yang bertentangan dengan prinsip Islam.
Pemimpin bisnis yang berintegritas juga harus memperlakukan karyawan secara adil dan wajar, serta memberikan insentif yang sepadan dengan prestasi kerjanya. Mereka harus memberikan contoh perilaku dan moralitas yang baik, dan harus membuat keputusan bisnis yang baik dan bertanggung jawab.

Secara keseluruhan, etika bisnis Islam mengutamakan masyarakat dan keadilan sosial, serta menghindari praktik bisnis yang merugikan orang lain atau merugikan masyarakat. Dengan menerapkan etika bisnis Islami, para pemimpin bisnis dapat menciptakan lingkungan bisnis yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat, serta memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan.
Secara umum, sistem etika Islam sangat berbeda dengan sistem etika Barat. Sesuai dengan dinamika peradaban yang dominan, pemaparan gagasan-gagasan yang melahirkan sistem etika Barat secara tipikal menggambarkan perjalanan yang dinamis dengan karakteristik yang berubah-ubah dan temporer.

Biasanya, pengalaman dan keyakinan para pendirinya berfungsi sebagai landasan pemikiran etis. Berbeda dengan pandangan-pandangan lain yang sangat menekankan rasionalisme dan keduniawian, pengaruh ajaran agama terhadap model etika Barat justru melahirkan ekstrim baru yang cenderung melucuti manusia dari kemanusiaannya dan keterlibatannya di dunia luar.
Islam, di sisi lain, menekankan kesatuan hubungan manusia-Pencipta. Kehidupan di dunia dan akhirat berdasarkan sumber primer yang jelas, khususnya Hadits dan Al-Qur'an.

Kesatu, Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang akan dibahas, antara lain:
Teleologi Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mengembangkan teori berdasarkan dua gagasan: Pertama, utilitarianisme, juga dikenal sebagai konsep utilitas (manfaat). yaitu, pengambilan keputusan etis yang memperhitungkan hasil yang akan membawa manfaat terbesar bagi banyak pihak. Dengan kata lain, apa yang dianggap benar adalah sesuatu yang memaksimalkan yang positif atau mengurangi yang negatif bagi banyak pihak. Oleh karena itu, ketika sesuatu semakin bermanfaat bagi banyak orang, itu dianggap sebagai tindakan etis.

Kedua, teori keadilan distributif, juga dikenal sebagai keadilan berdasarkan kewajaran. Prinsip sentral dari teori ini adalah bahwa suatu tindakan adalah etis jika menjunjung tinggi keadilan berbasis keadilan dalam distribusi barang dan jasa. khususnya gagasan dengan nilai fundamental keadilan.
Konsep ini menitikberatkan pada metode distribusi karena suatu tindakan sangat etis dalam hal ini jika menghasilkan pemerataan atau pemerataan beban dan kesejahteraan. Penyaluran sesuai dengan bagian, kebutuhan, usaha, sumbangan sosial, dan jasa, dengan hasil yang berpotensi mendorong kerja sama masyarakat.

Deontologi: Teori Immanuel Kant menyatakan bahwa keputusan moral tidak boleh didasarkan pada "hasil" atau "konsekuensi", seperti dalam teori teleologis, melainkan pada aturan dan prinsip universal. Melakukan perbuatan baik membutuhkan tidak hanya berpegang pada prinsip yang baik tetapi juga niat baik.
Ada dua konsep dalam teori ini: Pertama, etika kebajikan. Apa yang terbaik bagi manusia untuk hidup adalah dasar dari teori ini, bukan aturan atau prinsip yang benar atau diterima secara universal. Landasan teori ini adalah untuk menekankan semua manusia sebagai pelaku moral, bukan hanya tindakan manusia. melihat sifat dan sikap orang yang adil, jujur, murah hati, dll. bersama.
Kedua, Hukum Kekal didasarkan pada gagasan bahwa keputusan moral harus dibuat sesuai dengan apa yang dikatakan alam dan Alkitab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun