~ by : Zakia WishBeUkhti (no.150) ~
---
Rahmat membanting pintu kamarnya, ia marah dan sebal, lagi-lagi keinginannya untuk punya sepeda seperti teman-temannya tak dikabulkan ibunya. Kadang Rahmat ingin pergi saja dari rumah, atau ganti orangtua saja sekalian, seperti orangtua Hasan yang suka memberikan hadiah kepada anaknya. Rahmat hanya ingin seperti teman-teman, bisa beli kue kapan saja dia mau, main sepeda, atau beli vcd film kartun maupun playstation. Yang didapatnya setiap hari hanya diminta belajar, belajar dan belajar... terus. Bagaimana bisa belajar kalo apapun yang dia mau tidak diberikan orangtuanya, pikirnya.
Setiap malam dia selalu pura-pura belajar di kamarnya, namun sering kali saat seperti itu justru dia gunakan untuk menggambar, baca komik, dan lain sebagainya. Namun ketika terdengar suara orang mendekat, dia akan pura-pura sibuk mengerjakan tugas sekolah, belajar. Kekesalannya dirumah, seringkali terbawa ke sekolah, yang membuatnya seolah menjadi sosok pemarah dan tidak suka dengan kesenangan yang didapatkan teman-temannya. Karena dia tidak bisa mendapatkan itu semua!
---
Hari ini sepulang sekolah ia tidak langsung pulang ke rumah, ia mampir dulu di pasar, entahlah, ia juga tak tahu mau apa disana, hanya saja keramaian di sana mungkin bisa membuang waktunya agar bisa pulang telat di rumah. Ia malas mendengar omelan ayah & ibunya lagi, lagi dan lagi. Apalagi hari ini ia mendapat surat dari sekolah agar diberikan kepada orangtuanya untuk dapat hadir di sekolah. Apalagi coba kalo bukan membahas tentang dia? Nilai-nilainya yang jelek, sering berantem di sekolah, ah... ia malas memikirkan itu, saat ini sepertinya ia ingin melupakan itu semua dan menghilang saja!
---
Di sudut pasar yang ramai, Rahmat duduk di sebuah emperan toko kelontong. Dilepaskannya tas yang sedari tadi menggelayut di pundaknya. Diletakkannya tas itu di pangkuannya. Ia menunduk, kakinya ditekuk hingga dagunya menyentuh lutut, dan membiarkan pandangan matanya mengamati langkah-langkah kaki yang berlalu lalang di hadapannya. Seolah tak memperhatikan kehadirannya. Ia biarkan pikirannya melayang-layang kemana-mana, biarkan ia terbang, kemana pun yg ia mau.
---
Suara adzan ashar terdengar dari masjid yang tak jauh dari pasar. Ah.. sudah sore rupanya, tak tersadar ia sudah selama itu berdiam duduk di sudut pasar. Dengan sedikit gontai, ia berdiri melangkah menuju masjid, hendak mencuci muka sejenak ataupun mendinginkan badannya di rindang halaman masjid. Atau mungkin ia bisa selonjoran bahkan tiduran di halaman masjid yang bersih. Saat masuk ke ruang wudhu, seorang Bapak melihatnya sekilas, dan tersenyum kecil. Ketika Rahmat tepat berjalan di depan Bapak itu, Bapak itu tiba-tiba berkata “saya senang sekali melihat anak muda yang rajin seperti kamu, meski masih SD sudah mau bantu orangtua bekerja di pasar, dan sholat jamaah di masjid”. Bapak itu berlalu sambil mengusap rambut Rahmat pelan, dan berlalu sambil tersenyum. Rahmat hanya diam, tak merespon. Dia lanjutkan niatnya semula. Dia baru pulang ke rumah ketika menjelang adzan maghrib. Seperti biasa, omelan didapatkannya. Ia tak kaget, sudah biasa.
---
Keesokan harinya, ia ulangi kembali aktivitasnya seperti kemarin. Ia seolah mendapatkan sedikit ketenangan dengan pulang telat ke rumah, menjauh dari omelan dan ‘menghilangkan’ diri sejenak. Apalagi ketika dia duduk di emperan toko seperti biasanya, kadang ia mendapatkan beberapa rupiah, mungkin ada yang mengira dia pengemis, entahlah... yang jelas ia cukup senang mendapatkan uang itu, toh ia tak pernah memintanya.
---
Seminggu berlalu sudah, sepertinya orangtuanya mulai terbiasa dengan kebiasaan baru Rahmat pulang sore hari. Kedua orangtuanya sibuk, Ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan, Ibunya bekerja mencuci baju beberapa tetangga. Meski ia anak tunggal, sepertinya orangtuanya malah senang kalau ia punya kesibukan sendiri, sehingga tak mengganggu.
---
Seperti biasa, saat adzan ashar berkumandang, Rahmat bergegas ke masjid, setiap kali itu juga ia bertemu dengan Bapak yang selalu tersenyum kearahnya. Namun sore itu berbeda, setelah jamaah sholat ashar selesai, Bapak itu duduk di sebelah Rahmat di halaman masjid, sambil memberinya sepiring siomay. Ia tak menolak, karena ia memang lapar, namun tak dirasanya. Apalagi dia tak perlu mengeluarkan sepeser pun untuk itu. “Toko Ayahmu yang mana?” tanya Bapak itu. Rahmat menggeleng sambil terus memakan siomaynya. “Namamu siapa nak?” “Rahmat” “Rahmat... nama yang bagus. Artinya karunia Tuhan yang sangat berharga.” “Kelas berapa nak?” “Kelas 4” jawab Rahmat singkat. “Wah.. kelas 4 SD, Bapak jadi ingat waktu Bapak masih seusia kamu...” tanpa diminta Bapak itu bercerita panjang lebar tentang masa kecilnya dulu. Rahmat hanya mendengarkan sambil menikmati siomaynya. Ia tak berkomentar apapun, namun menyimak. Bapak itu bercerita tentang masa kecilnya yang sulit, orangtuanya miskin, dan saudaranya banyak. Kemiskinannya itulah yang membuatnya hanya lulusan SD. Melihat orangtuanya bersusah payah mencari nafkah untuk menghidupi keluarga besarnya, membuatnya bertekad untuk merubah hidup, ia harus jadi orang sukses kalau sudah besar nanti, dimulai dengan membantu mencari nafkah, kalau belum bisa membantu orangtuanya, setidaknya memenuhi kebutuhannya sendiri. Bapak itu sudah terbiasa bekerja sejak kecil, mulai dari jual gorengan, makelar fotocopy buku pelajaran, tukang parkir, penjaga toko, bahkan jadi tukang panggul di pasar. Hampir semua pekerjaan dicobanya. Ia tidak malu, selama yang dilakukannya halal dan tidak membuatnya jatuh sakit. Ia sadar saudaranya banyak, sehingga menjadi ‘terlupakan’ oleh orangtuanya sejenak, ia sudah maklum. Toh semua itu dilakukan orangtuanya demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan saudara-saudaranya. Sampai suatu ketika tetangganya melihat keseriusannya bekerja, serta kejujurannya. Ia diminta membantu mengurus barang dagangannya di pasar. Ia jaga kepercayaan yang didapatnya, karena ia tahu, mendapatkan kepercayaan itu sulit, sehingga ia tak mau menyia-nyiakannya. Hingga lama-kelamaan ia dipercaya mengelola 1 toko tetangganya seorang diri, hingga menjadi beberapa toko, dan akhirnya dia bisa memiliki tokonya sendiri yang kelak dipakai berdagang bersama saudara-saudaranya. Berbagai rintangan hidup telah dilaluinya, kegagalan sudah bukan lagi momok baginya, ia sudah biasa. Karena ia tahu, kegagalan mengajarinya sesuatu. Semua diikhtiarkannya semaksimal yang bisa dilakukan. Hingga usianya yang cukup senja saat ini, 50 tahun. Ia sudah bisa menghajikan kedua orangtuanya, membantu biaya pernikahan saudara-saudaranya, bahkan membantu memberikan pekerjaan bagi banyak orang. Anak-anaknya pun saat ini sudah besar-besar, sedang menuntut ilmu, kuliah di perguruan tinggi terkenal di luar kota, dengan beasiswa. Saat ini si Bapak sudah memiliki banyak karyawan, toko, kos-kosan, juga berbagai usaha. Ia hanya perlu mengecek beberapa hal, selanjutnya semuanya sudah ada yang mengerjakannya. Ia menikmati hidup dan mengisi hari tuanya untuk beribadah, kalau-kalau Tuhan memanggilnya. Ia ingin meninggal sebagai orang yang menebar manfaat, agar cukup bekalnya nanti saat menghadap Sang Khalik.
---
Entah mengapa Rahmat tahan mendengar cerita panjang Bapak itu, bahkan piring siomay yang sudah habis dari tadi tak disadarinya, ia terus mendengarkan cerita si Bapak.
---
“Kalau kau butuh teman, jangan sungkan main ke rumahku, rumahku diujung jalan sana” kata Bapak itu sambil menerangkan lokasi rumahnya pada Rahmat dan membelinya sebotol teh dingin. Entah mengapa Rahmat merasakan kesejukan dari cara Bapak itu bercerita, bahasa yang dipakai, juga cara Bapak itu memperlakukan Rahmat. Ia seperti menemukan sesuatu yang lama hilang selama ini, keakraban, ketenangan, dan... kepercayaan. “Pak... boleh saya belajar sama Bapak?” ujar Rahmat terbata. “Boleh, Bapak senang sekali!” sambut Bapak itu sambil memeluk erat tubuh kecil Rahmat sejenak. Kali ini Rahmat tersenyum.
---
Beberapa kali sudah ia mendatangi rumah Bapak itu, Pak Nur namanya. Dan setiap kali itu pula dia merasa dihargai, dan dianggap seolah seperti anak Pak Nur sendiri. Meski kini Rahmat diminta bekerja pada Pak Nur untuk membantu menjaga rumahnya yang hanya ditinggali Pak Nur dan istrinya, namun sesekali Rahmat diajak berkeliling ke beberapa tempat usaha Pak Nur. Entah itu untuk membantu membawakan beberapa bawaan Pak Nur, atau pun sekedar diajak. 1 hal yang dipegang Rahmat dari pembelajaran dia ke Pak Nur, yaitu keseriusan. Kesungguhan. Bersungguh-sungguh dalam mengusahakan sesuatu.
---
Moral :
- Rasa nyaman yang diperoleh anak, membuatnya mendekat, rasa tidak nyaman membuat anak menjauh
- Anak akan merasa senang jika dilibatkan secara aktif dalam proses, agar ia mengerti posisinya
- Menghargai anak mutlak diperlukan sebagaimana orangtua ingin dihargai anak
- Anak perlu tahu apa tujuan hidupnya yg akan menjadi pegangan dia melalui ujian. Alasan mengapa ia harus melalui sesuatu.
- Kepercayaan orangtua / sekitar berpengaruh pada kepercayaan diri anak.
- Setiap anak memerlukan sosok contoh / keteladanan sebagai referensi, karena anak cenderung ‘melihat’ daripada ‘mendengar’.
=================== Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun : Fiksiana Community Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H