Mohon tunggu...
Zaki Ahmad Satriana
Zaki Ahmad Satriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - 23107030035 - Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Hanya orang biasa yang baru mulai menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kisah Inspiratif Pemilik Usaha Konfeksi di Tasikmalaya, Dari Modal Pinjam Uang Teman hingga Ekspor ke Kota-Kota di Jawa Barat

23 Juni 2024   00:57 Diperbarui: 23 Juni 2024   01:19 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Dokumen Pribadi

Gin Gin, seorang pemilik usaha konfeksi di Kawalu, Kota Tasikmalaya membagikan kisah tentang bagaimana awal mula ia merintis usahanya hingga bisa seperti sekarang ini. Pada sekitar tahun 2015, ia yang berasal dari Bandung saat itu berniat untuk membuka usaha membuat pakaian seragam sekolah di kampung halaman istrinya di Tasikmalaya. Karena uang tabungannya yang terbatas untuk membangun usaha, ia memberanikan diri untuk tetap membuka usaha membuat pakaian seragam sekolah tersebut dengan bermodalkan pinjaman uang dari teman.

Dengan modal yang kecil, peralatan seadanya dan rumahnya yang saat itu masih mengontrak untuk dijadikan tempat produksi, Gin Gin bersama istrinya mulai merintis usaha konfeksi pakaian seragam sekolah tersebut dari nol dengan hanya mempekerjakan tiga orang temannya yang sampai saat ini masih bekerja bersamanya. Sejak awal berdiri, usaha konfeksinya ini terus berjalan hingga kemudian mereka mencoba membuat produk yang baru, yaitu mukena.

"Saya sejak awal merintis itu tahun 2015, awalnya itu cuma bikin seragam sekolah, terus akhirnya coba-coba bikin mukena." ujar Gin Gin.

"Itu tiga orang (pekerja), mereka ini yang udah kerja sama saya sejak awal saya merintis dari nol, bahkan mungkin dari minus, karena waktu itu saya modal aja minjam, motor minjam, rumah pun ngontrak." tambahnya.

Setelah beberapa tahun berjalan, Gin Gin merasa bahwa usaha konfeksi seragam sekolah dan mukena miliknya ini tidak terlalu memberikan untung karena hanya melakukan produksi sesekali. Selain itu, tingkat  penjualan seragam sekolah dan mukena juga relatif rendah karena permintaan dari pembeli hanya pada saat tertentu saja yaitu saat tahun ajaran baru sekolah dimulai atau saat bulan ramadan tiba. Maka dari itu Gin Gin mencoba kembali berinovasi untuk membuat produk yang baru.

Atas usulan istrinya, pada tahun 2018 Gin Gin akhirnya membuka usaha yang baru dengan membuat daster, gamis dan jilbab yang menurutnya lebih menguntungkan karena bisa diproduksi setiap hari. Alasan lain kenapa ia dan istrinya memilih daster, gamis dan jilbab karena permintaan masyarakat yang tinggi setiap saat tanpa harus menunggu waktu-waktu tertentu seperti halnya seragam sekolah ataupun mukena.

"Karena kan kalo kayak daster itu perputarannya cepat, karena kan yang beli ibu-ibu jadi tiap hari ada yang beli, jadi gak pertahun kayak seragam atau tiap (bulan) ramadan kayak mukena." Ujar Gin Gin.

Dua tahun berselang, tepatnya pada tahun 2020, terjadi pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia. Pandemi tersebut mengakibatkan banyak umkm dalam negeri merasakan dampaknya, tak terkecuali usaha konfeksi milik Gin Gin dan istrinya. Hal itu membuat produksi seragam, mukena, daster, gamis dan jilbab miliknya sedikit terganggu karena saat itu terjadi pemberlakuan pembatasan sosial selama pandemi COVID-19 .

Maka dari itu, untuk mengakali bagaimana agar usaha konfeksinya tetap berjalan di tengah pandemi COVID-19, Gin Gin juga memproduksi pakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan masker yang nantinya bisa digunakan masyarakat saat pembatasan sosial berlangsung. Langkah ini bahkan membuat Gin Gin merasa bahwa usahanya konfeksi miliknya baru berdiri di saat pandemi berlangsung karena pada saat inilah awal mula usahanya naik hingga bisa seperti sekarang.

"Ketika masuk (pandemi) covid, usaha orang lain banyak yang jatuh (bangkrut), punya kita justru baru berdiri karena waktu itu kan kita ada job juga buat bikin baju APD dan masker, makanya (usaha) kita baru jalan." kata Gin Gin.

Gambar: Dokumen Pribadi
Gambar: Dokumen Pribadi

Kini usaha konfeksi miliknya terus mengalami perkembangan, Gin Gin dan istrinya yang semula hanya mengontrak kini sudah membeli rumah tersebut. Kegiatan produksi pakaian juga semakin meningkat, bahkan kini ia telah mempekerjakan sebanyak 16 orang, termasuk 10 orang yang bekerja di bagian finishing yang setiap hari bekerja di lantai dua rumahnya. Berbagai pakaian wanita seperti daster, gamis, dan jilbab diproduksi kurang lebih sekitar 500 buah setiap harinya.

Untuk desain pakaiannya sendiri, Gin Gin mengaku bahwa desain produk pakaian perempuan miliknya mengikuti sesuai tren pakaian yang ada dan apa yang tengah viral. Selain itu, Gin Gin juga menjelaskan bahwa produk pakaian perempuan miliknya memiliki keunggulan tersendiri yaitu dari segi bordir dibanding produk-produk pakaian dari daerah lain seperti produk Pekalongan yang unggul dari segi bahan ataupun produk Bandung yang unggul dari segi fashion.

"Kita keunggulannya ada di bordir, kota-kota lain kan tidak ada bordir, kalo Pekalongan mereka unggul dari segi bahan karena merajut sendiri, sedangkan kalo Soreang (Bandung) dari fashion kita ketinggalan." ucap Gin Gin.

Tidak hanya sampai di Tasikmalaya saja, produk pakaian perempuan yang diproduksi oleh Gin Gin juga sudah dikirim ke beberapa toko yang ada di kota-kota lain di sekitar Jawa Barat seperti Bandung, Majalengka dan Cirebon. Di masing-masing kota setidaknya ada dua toko dan masing-masing mendapat sekitar kurang lebih 200 buah pakaian per minggu yang dikirim setiap hari Senin, Selasa, Kamis, Jumat, dan Sabtu.

Melihat perkembangan usaha yang sekarang ini sudah berubah menjadi serba online, justru tidak membuat Gin Gin terlalu terpengaruh, Gin Gin mengatakan bahwa ia punya pandangan dan caranya sendiri terkait hal tersebut. Menurutnya meskipun terlihat sangat menggiurkan, tetapi pada kenyataannya tetap ada plus dan minusnya. Selain itu, keterbatasan pengetahuan tentang teknologi menjadi salah satu alasan mengapa ia lebih memilih untuk menjual produknya secara tradisional.

"Kalo ditanya (jualan online) kita pasti tergiur, tapi kan ada plus minusnya" kata Gin Gin.

"Kalo minusnya online itu mungkin kalo ada cacat sedikit pembeli bisa ngomel-ngomel, karena kan tidak bisa dikembaliin, sedangkan kalau beli biasa (tatap muka) kalau misal ada kotor bisa kita bersihin, kalau ada robek bisa kita jahit dulu, tapi kalo plusnya itu tidak ada biaya operasional." tambahnya.

Meskipun begitu, Gin Gin sendiri mengaku tidak menutup kemungkinan untuk ikut memasarkan produknya secara online juga sebagai antisipasi jika misal sewaktu-waktu semuanya sudah benar-benar beralih digital. Produk jilbabnya sudah mulai ada yang dijual secara online lewat beberapa platform seperti tiktok shop dan juga shopee sebagai pondasi agar usaha konfeksi miliknya tidak tertinggal dari yang lain.

"Untuk jilbab kita sudah mulai ada yang dijual online, sebagai pondasi kalau sewaktu-waktu semua sudah online kita tidak ketinggalan " tambah Gin Gin.

Gambar: Dokumen Pribadi
Gambar: Dokumen Pribadi

Produk konfeksi milik Gin Gin dan istrinya yang meliputi seragam sekolah, mukena, daster, gamis dan juga jilbab terdiri dari berbagai macam bahan, motif serta ukuran. Untuk daster dijual dari mulai 37 ribu rupiah hingga 55 ribu rupiah sedangkan untuk jilbab dari mulai 16 ribu rupiah hingga 200 ribu rupiah. Kedepannya Gin Gin bersama istrinya berencana untuk terus memperlebar usahanya dengan membuat produk yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun