Mohon tunggu...
zakiah wulandari
zakiah wulandari Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga dengan 2 anak yang hobi menulis. Tetap bersemangat memperbaiki diri setiap harinya. Pemilik online shop butik NAdhif@solo.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berburu Sekolah Terbaik

6 Februari 2014   05:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:07 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Usia ideal anak sekolah adalah tujuh tahun untuk SD. Sedangkan anak saya 6 tahun kurang dua bulan saat Juli nanti. Simalakama bagi saya karena mendaftarkannya kecepetan. DI sini saya tidak membahas alasan kecepetannya itu. Saya ragu mendaftarkannya di SD. Menurut saya, materi kurikulum pendidikan untuk SD terlampau 'berat'. Namun saya pun enggan kembali ke TK.

Toh, di TK materi yang diajarkan juga mirip dengan materi SD kelas 1 zaman zaya SD dulu. Saya yang berharap dia bisa bermain sepuarnya di TK, ternyata salah. TK, tidak mampu memenuhi hasratnya untuk bermain. Meski masih kelas kecil, mereka sudah dijejali dengan pelajaran membaca. Materi kelas 1 SD -zaman saya sekolah dulu. Kini di TK B, dia jua mendapat pelajaran membaca ditambah dengan menulis. Ia sempat trauma dan mogok sekolah. Lebih lagi, karena ia memang nyaman menulis dengan tangan kiri. Hal ini sering ditegur, agar dia pindah menulis tangan kanan. Si sulung ku akhirnya meledak mogok sekolah. Katanya sakit perut, mual, mau panas dan banyak lagi alasannya. Saya tidak memaksanya untuk sekolah. Tapi konsekuensinya di rumah saya harus aktif bersama dia dan si adik kecil.

TK lagi atau SD? Sama saja. Baiknya saya Homeschoolingkan. Kali ini bapaknya yang menentang. Homeschooling akan membuat ego nya lebih besar dan tidak bisa bermasyarakat, begitulah kira-kira alasannya. Bapaknya, tetap ngotot mendaftarkan ke SD. "Dia tetap homeschooling tapi setelah pulang sekolah formal." Sekolah hanya sarana untuk belajar menjadi masyarakat. Tidak mengejar nilai akademis. Tapi kalau bisa sih, Alhamdulillah.

Nah, saya ini ibu yang perfeksionis. Inginnya yang terbaik untuk anak-anak termasuk hal pendidikan. Terbaik dalam hal ini bukan sekolah yang mentereng prestasi akdemis, seperti peraih nilai UN tertinggi.

- Saya ingin sekolah yang bisa menjaga semangat keaktifan anak.

- Saya ingin sekolah yang memotivasi bukan doktrinasi.

- Saya ingin sekolah yang ramah otak anak, bukan memaksa otaknya bekerja.

- Saya ingin sekolah tanpa diskriminsi, ada si pintar dan si bodoh.

- Saya ingin anak saya mencintai agamanya, cinta Allah dan Rasulullah dengan tulus.

- Beribadah dengan sukarela.

- Humanis dan empatis.

- Menghormati orangtua dan mencintai lingkungan.

Semuanya tidak ada dalam rentetan daftar nilai akademis yang digadang-gadang. Selanjutnya bisa ditebak, saya kesulitan menemukan sekolah tersebut. Bahkan di sekolah Taman Kanak-Kanak pun (seandainya dia kembali ke TK), sulit menemukan target dan rangkaian kegiatan siswa TK yang seperti diinginkan.

Seperti menemukan jarum di tumpukan jerami.

Pertama yang saya lakukan adalah konsultasi ke psikolog. Kenapa ke psikolog? karena saya ingin mendapatkan sekolah yang cocok untuk anak saya dengan karakternya yang dominan otak kanan. Saya hanya ingin anak saya sekolah di tempat terbaiknya.

Beberapa sekolah masuk dalam daftar survey. Enam sekolah itu mengakomodasi keinginanku dan suami. Kesimpulannya, sekolah banyak bergaya klasikal.  Guru berbicara di depan dan siswa manut mendengarkan. Sekolah ini langsung saya coret. Tidak cocok untuk anak saya yang aktif dan mudah bosan. Saya membayangkan dia tidur melulu dalam kelas atau sibuk sendiri dengan kegiatan yang diciptakannya.

Baiklah. Sekolah berikutnya terkenal dengan siswa yang disiplin. Masuk jam 07.00 dan pulang jam 14.00. Selama itu, gaya mengajarnya klasikal. Dalam satu kelas duduk 35 siswa dengan satu pendidik. Kosentrasi siswa harus penuh. Alumninya lulus dengan nilai UN yang memuaskan. Sekolah ini juga dicoret. Saat pulang sekolah, siswanya banyak yang cemberut.

Selanjutnya, sekolah dengan konsep alam. Cocok dengan keinginan saya agar anak-anak peduli dan mencintai lingkungannya. Namun saat saya utarakan pada psikolog yang menganalisa anak saya, sekolah tersebut tidak cocok. Karena menurutnya, anak saya yang cuek bebek itu bisa jadi ‘bebas’ se’bebas’nya. Dahi saya mengernyit. Masa sih?

Baiklah pencoretan dipending dulu. Dilanjutkan dengan sekolah pembanding lain. Sekolah berikut ini ramah dengan bakat dan minat anak. Mereka mengaplikasikan Multiple Intelegency dalam kurikulumnya. Modifikasi kurikulum pendidikan nasional. Anak-anak yang telah dinyatakan lolos akan dikelompokkan dalam kelas sesuai dengan intelegency yang dimiliki. Maka dari itu, cara dan konsep pengajaran bisa disesuaikan dengan intelegency anak-anak. Beda kelas jadinya beda cara. Unik, bukan? Dan ramah dengan anak-anak.

Saat penggalian informasi lebih lanjut ternyata proses seleksinya pun menggunakan sistem Multiple Intelegency Research (MIR). Sistem ini akan memindai gelombang otak untuk mengetahui area otak yang dominan. Sehingga bisa diketahui intelegency nya. InsyaAllah akurat dan valid. Namun saat melihat biaya awal masuk, runtuhlah hati ini. Jauh dari kemampuan finansial keluarga. Lagipula sang pemilik sekolah, basis agamanya berbeda dengan keyakinan saya dan suami. Pencoretan dilakukan.

Sekolah pembanding terakhir. Sekolah inklusi pertama di kota Solo. Sekolah ini menerima semua anak, baik yang belum bisa membaca, pintar membaca, anak berkebutuhan khusus, anak Difable. Kurikulum pendidikan nasional modifikasi sesuai kebutuhan dan kemampuan anak. Cara mengajarnya aktif dan interaktif. Saya wajib melongok ke dalam kelas. Survey lokasi, mengikuti pemaparan program sekolah, tanya guru-guru. Mengamati semua orang di sekolah itu, satpam, Tata Usaha, Guru-guru, penjaga masjid, para terapis Anak Berkebutuhan Khusus di kelas istimewa. Juga tanya-tanya pada siswa-siswa yang bersekolah di sana. Senyum dan keceriaan ada di wajah mereka.

"Dek, bosan gak sekolah di sini?"

"Gak. Senang terus, tante. Pengenya sekolah terus," ujarnya tertawa. Beberapa siswa juga menjawab hal yang sama dengan senyum dan tawa.

Siswa difable, siswa ABK dan siswa reguler, saling sapa dengan akrabnya.

Great!

Akhirnya. Lima sekolah sebelumnya sukses dicoret. Si sulung pun gembira dengan calon SD nya. Setelah berkeliling dan mengintip kelas dalam sekolah itu, ia kepincut setengah mati. Apalagi di kelas 3 (kelas yang kami intip) sedang membuat pesawat dari botol minuman dan gabus. Entah pelajaran apa itu, tapi yang penting anak saya sudah jatuh cinta.

"Ayo mas, sekolah,"

"Sekolahnya diman bu, TK atau SD?"

"Maunya dimana?"

"SD yang kemaren itu loh<"

Baiklah, tunggu Juli nanti ya....

Note: Bismillah. Semoga Sekolahnya cocok. Mohon diaminkan saiapapun yang membaca artikel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun