Terdapat perbedaan antara media dengan jurnalisme. Menurut Wicak Hidayat dalam Forum Wartawan yang membahas tentang "Masa Depan dan Tantangan Jurnalistik di Tengah Tren AI dan Homeless Media," apabila sebuah media mati artinya yang terjadi adalah perubahan. Namun, perubahan itulah yang mengatakan bahwa media dengan jurnalisme tidak sama.
Apabila media meliputi sebuah perusahaan, modal, serta komoditas, sedangkan jurnalisme meliputi kebenaran, transparansi, serta proses bercerita. Perbedaan itulah yang nantinya akan menentukan audiens atau pengiklan untuk membuktikan bahwa media akan selalu mengalami perubahan, tetapi jurnalisme tidak. Media akan berubah mengikuti arus pasar, tetapi jurnalis tetap berpegang teguh pada aspek idealis.
Namun, saat ini sebagian besar media justru marak menggunakan judul berlebihan, pemuatan berita yang tidak sesuai fakta lapangan, bahkan berani melakukan pemalsuan untuk mendapatkan views dan likes semata. Pada akhirnya, hal tersebut memengaruhi minat masyarakat terhadap literasi berita yang semakin menurun. Hal itu pun berdampak buruk bagi jurnalisme karena fenomena tersebut dapat memudarkan impresi yang baik di mata masyarakat.Â
Berdasarkan penjelasan tersebut, ancaman hadirnya Chat GPT bukanlah sebenarnya ancaman, melainkan tantangan. Ancaman para jurnalis adalah manusia itu sendiri yang dapat meruntuhkan pemikiran jurnalis yang idealis. Maka dari itu, apa pun perubahan yang terjadi, para jurnalis akan tetap berpegang teguh pada idealisme dalam memberikan informasi. Hal itulah yang hingga saat ini masih dibutuhkan oleh masyarakat informasi yang layak dan berkualitas dengan prinsip kebenaran, transparansi, dan bercerita.
Kehadiran Chat GPT bukan Lagi Sebuah Ancaman, melainkan ArahanÂ
Kode etik jurnalistik, Pasal 11, "Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional." Para jurnalis harus selalu memverifikasi setiap data dan hasil berita sebelum dipublikasikan untuk menghasilkan berita yang idealis. Chat GPT memang berhasil menemukan dan memberikan setiap jawaban dengan lengkap. Namun, tidak dengan fakta-fakta terbaru yang ada di lapangan. Maka, tetap dibutuhkan peran keduanya antara Chat GPT untuk mengarahkan dan jurnalis untuk menyempurnakan berita agar bersifat asli dan tanpa cacat.
Sebuah inovasi dapat mendukung apabila digunakan dan dimanfaatkan sebagaimana mesti dan sesuai porsinya. Chat GPT hadir sebagai instrumen baru dalam jurnalisme untuk mengarahkan dan mempercepat pekerjaan. Para jurnalis dapat memanfaatkan fitur yang ada dengan membuat pertanyaan, seperti "List pertanyaan wawancara," "Script wawancara," atau "Opini liputan."Â
Walaupun begitu, para jurnalis harus kembali pada kode etik jurnalistik, Pasal 3 "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah." Pada Pasal 3, Chat GPT tidak dapat memberikan sumber informasi secara langsung sesuai fakta di lapangan. Maka dari itu, tidak ada yang mengubah dan menggantikan peran jurnalis untuk meliput, menulis, serta memastikan data sesuai fakta.
Chat GPT memang berhasil membuat kerangka, tetapi tidak mampu menunjukkan dan membedakan antara fakta dan opini. Kedua hal tersebut hanya dapat dibuktikan dengan jurnalisme, yakni turun ke lapangan dan verifikasi data. Oleh karena itu, para jurnalis akan selalu hadir untuk terus menjadi idealis hingga saat ini dan mematahkan opini tentang kegagalan jurnalis karena lahirnya kecerdasan buatan, seperti Chat GPT.
Penulis:
Zakiah Umairoh Machfir (11210511000099), mahasiswi semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H