1000 dan Keimanan Kita
Kemudian ustad Mizaj yang baru saja meraih gelar doktor nya baru-baru ini lagi-lagi menjelaskan panjang lebar ada apa dibalik sebuah kata dalam potongan ayat tersebut. Kali ini, potongan katanya adalah :
yang secara harfiah artinya adalah seribu.
Begini penjelasannya yang sangat memukau membuat saya terinspirasi mengabadikan penjelasan tersebut dalam tulisan ini. Bahwa rentang pemahaman masyarakat Arab kuno saat itu terhadap angka hanya mencapai 1000 (baca : seribu) saja karena diatas angka tersebut, masyarakat Arab kuno tidak mengerti angka melebihi angka tersebut. Sebagai contoh, ustad Mizaj mengutip ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang umur nabi Nuh yang disebut dalam Al-Quran sebagai 1000 tahun 'illa'('illa' artinya kecuali) 50 tahun. Logika simpel dari ayat tersebut adalah umur nabi Nuh berjumlah 950 tahun. Lalu mengapa tidak langsung mengatakan 950 tahun? Itulah bagaimana Allah menyampaikan informasi kepada masyarakat Arab kuno dengan tingkat pemahaman mereka dan tradisi yang lebih dekat dengan mereka.
Perlu diingat bahwa satuan nol (0) baru ditemukan dan dirumuskan pada abad kedua Hijriyah. Baru setelah itulah, perlahan-lahan pemahaman rentang angka semakin membesar dan lalu peradaban manusia merangkak hingga maju seperti yang kita rasakan saat ini. Nol (0) ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar terhadap perkembangan pengetahuan manusia. Oleh karena nalar masyarakat Arab kuno hanya mencapai angka 1000 saja, maka dalam Al-Quran, pada umumnya Allah berbicara kepada masyarakat Arab kuno dengan menggunakan angka 1000 (seribu), lebih mendalam ustad Mizaj mengatakan, untuk mengatakan 'tak terhingga' dalam bahasa manusia modern saat ini.
Majelis ilmu semakin menarik ketika seorang jamaah melontarkan beberapa pertanyaan kritis. Diantarnya adalah bahwa ada ayat yang menyebutkan angka 5000 (baca: lima ribu). Bagaimana penjelasannya ini?
Dengan tenang tanpa berpikir berusaha mencari jawaban, ustad Mizaj ternyata telah memiliki jawabannya sendiri. Al-Quran itu abadi, merupakan mukjizat yang tidak hanya diperuntukkan untuk masyarakat saat diturunkan saja, melainkan juga diperuntukkan kepada masyarakat akhir zaman. Oleh karena itulah pengetahuan-pengetahuan yang diluar nalar saat itu pun sering disampaikan melalui Al-Qur'an. Pun begitu, umat Muslim saat itu tetap beriman walau mereka juga tidak mengerti apa yang disampaikan dalam Al-Qur'an.
Setelah penjelasan tersebut, diskusi kembali berjalan. Lelaki yang sama yang tadi melontarkan pertanyaan kritis kali ini sekali lagi mempertanyakan mengapa nabi Muhammad disebut sebagai seorang nabi yang 'ummi' yang artinya beliau tidak bisa membaca dan menulis.
Penjelasan dari pertanyaan ini sekali lagi memukau, betapa tidak rugi saya datang pagi-pagi sekali berangkat dari Lambhuk ke masjid Jami' UNSYIAH Darussalam ini untuk mengemis ilmu dari ustad Mizaj Iskandar, my new hero!
Dari sekian banyak masyarakat Mekkah saat itu, ustad Mizaj memaparkan, hanya 12 orang yang tidak bisa membaca-menulis. Ya, hanya 12. Itu artinya tingkat buta aksara di masa itu lebih rendah daripada masyarakat manapun di masa sekarang di kota manapun di dunia? Benar. Tapi dalam masyarakat Arab kuno, orang yang bisa membaca-menulis justru dianggap sebagai orang bodoh. Mengejutkan sekali memang. Orang yang bisa membaca-menulis dianggap bodoh karena ingatannya tidak kuat sehingga harus mencatat dan membaca ulang informasi yang diberikan atau yang diproduksi oleh dirinya sendiri.Â
Nah, dari 12 orang itu, salahsatunya adalah nabi Muhammad SAW yang berarti bahwa Rasulullah adalah salahsatu jenius saat itu. Namun dari 12 orang itu, bahkan dari seluruh makhluk lintas waktu, lintas zaman, lintas alam, nabi Muhammad adalah manusia tercerdas karena dikaruniai oleh Allah tingkat pemahaman yang sangat luar biasa. Sang Rahmatan lil 'Alamin bisa memahami alam semesta beserta isinya dan hukum-hukum yang berlaku didalamnya.