23 tahun umur provinsi ini, alih-alih menuntaskan konflik pertambangan dan agraria eh,malah nambah permasalahan pemadaman listrik yang selalu terulang setiap tahunnya tanpa ada solusi yang terbaik.
 Sepanjang tahun 2017-2020, sedikitnya terdapat 59 korban meninggal akibat kecelakaan tambang timah baik didarat maupun dilaut (WALHI Babel).Â
Hal tersebut adalah suatu pekerjaan yang serius untuk pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung menanggapi tentang izin untuk memperhatikan keamanan dalam mengeksploitasi sumber daya alam.
Dalam catatan dari wahana lingkungan hidup (WALHI) Kep Babel terdapat 434.166,7 hektar lahan pertambangan yang tersebar di hampir seluruh wilayah pesisir Pulau Bangka.
Jumlah ini terbagi di berbagai pesisir mulai dari pesisir Utara yang seluas 139.163,9 hektare, pesisir barat seluas 65.933,8 hektare, pesisir timur dengan luas 229.069 hektare serta pesisir selatan seluas 89.329,4 hektar.
Perjalanan ekploitasi dan perebutan lahan hidup
Perjalanan ekploitasi pertambangan ini sudah dimulai dari sera kolonial sampai era reformasi saat ini, ratusan ribu hektar lahan yang telah dikorbankan dalam eksploitasi ini, ratusan juta gulden uang mengalir ke negara sejak era kolonial.
Meningkatkan lahan yang dijadikan tempat untuk mengeksploitasi sumber daya alam ini menyebabkan ruang hidup yang semakin sedikit,maka masyarakat pun harus hidup berdampingan dengan lahan bekas pertambangan timah ini,yang dimana lahan tersebut rentan terhadap paparan radioaktif.
Meningkatkannya lahan bekas tambang dan semakin menipisnya ruang hidup manusia dan mahluk hidup yang lain teringat dengan sebuah lagi karya Iksan skuter yang berjudul "kami butuh lahan" yang menggema di udara:
Tuan kami hanya butuh lahan
Untuk perjuangkan semua