Mohon tunggu...
Zakharias Lusi Ujan
Zakharias Lusi Ujan Mohon Tunggu... Lainnya - DUC IN ALTUM

Ny toerana dia Mangina fa Misy Tompony

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ada Calon Independen dalam "Kotak Kosong"

1 Agustus 2020   13:02 Diperbarui: 1 Agustus 2020   12:59 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di samping calon pasangan Gibran-Teguh, ternyata  ada calon di jalur independen. Semua calon pasangan siap maju dipemilihan pada bulan Desember 2020 nanti.  Berita  tentang politik di tanah air menjelang pilkada serentak di 270 daerah semakin marak diperbincangkan akhir-akhir ini, lebih khususnya di Solo.

Memang saat ini juga adalah timing persiapan intens pemilihan  wali kota Solo. Lebih lagi, sejak pasangan Gibran-Teguh mulai dipromosikan sebagai pasangan resmi. Pasangan calon ini   menjadi topik perbincangan politis dan marak dibicarakan. Sejak awal isu ini meluncur ke permukaan dan diketahui public,  bahwa  tidak ada penandingnya. Makanya, pasangan calon ini dinilai kuat memenangkan konstelasi politik pada Pilkada wali kota Solo.

Pasangan Gibran dinilai kuat  memenangkan pertarungan politik ini dikarenakan oleh beberapa faktor. Pertama, sudah diketahui publik  bahwa Gibran adalah anak Presiden Jokowi, yang lagi berkuasa di NKRI ini.  Fakta bahwa Gibran itu anak presiden, itu suatu nilai tambah. Mengapa? Karena Jokowi adalah seorang pemimpin yang berintegritas, bersih dan tidak punya rekam jejak atau skandal korupsi. Bagi saya, ungkapan "buah jatuh tidak jauh dari pohonya" bisa merupakan panutan positif bagi Gibran, anak dari Jokowi. Gibran, menurut hemat saya, mewarisi nilai-nilai positif dan demokratis seperti bapaknya.

Kedua, aspek keteladan tersebut tidak sama sekali ada kaitannya dengan "dinasti politik". Pokok tentang "dinasti politik" ini banyak didiskusikan dan dinilai miring oleh sejumlah pengamat politik. Pada dasarnya, Gibran sendirilah yang tergerak hati dan memutuskan sendiri untuk terjun ke dunia politik. Bukankah Gibran adalah seorang warga Negara Indonesia yang mempunyai hak dan kebebasan untuk  berpolitik sama halnya warga Indonesia yang lain? 

Maka keputusan Gibran untuk masuk dalam perpolitikan merupakan hak pribadinya. Dan bukannya itu dibuat karena kemauan bapaknya, apalagi kalau itu dipaksakan. Andaikan kalau itu terjadi maka pencalonan Gibran itu ada sangkutpautnya dengan "dinasti politik".   Dan Jokowi, bapaknya bukan hendak membangun dan menyebarkan "dinasti politik" bagi keluarganya, melalui Gibran, anaknya. Kenyataannya tidak demikian. Itu jelas hanya merupakan hasil pengamatan  eksternal dari ikatan internal kekeluargaan. Pencalonan Gibran merupakan murni produk demokrasi.

Ketiga, karena Gibran adalah kader partai PDIP.  Sebagai satu partai politik, PDIP mempunyai sistem pengkaderan. Kader yang dianggap siap maka diorbitkan. PDIP mempunyai hak dan wewenang untuk menentukan dan mengambil sikap yang bijaksana untuk pencalonan para kadernya, termasuk Gibran.

Dalam hal ini, pilihan dan keputusan pemangku tinggi PDIP mengakomodir masukan dan penilaian dan akhirnya "tiket" pengusungan untuk pemilihan wali kota Solo dipercayakan kepada Gibran dan pasangannya. PDIP mempunyai kalkulasi menang kalah, wajarnya sebuah konstelasi politik. Dan kader mudanya diberi kesempatan untuk memulai mengalami  karier politik  mulai dari bawah, dari pemilihan wali kota.

Keempat, PDIP, pengusung Gibran adalah partai mayoritas. Secara Nasional, partai politik ini merupakan partai penguasa. Mengapa? Karena PDIP pemenang pemilihan umum, memenangkan pemilihan presiden. Sementara itu, di wilayah pemilihan Surakarta - Solo merupakan rumah PDIP. Partai ini  merupakan  mayoritas yang menguasai kursi terbanyak di wilayah tersebut.  Sungguh dominan kekuasaannya walaupun ada beberapa partai politik lain, seperti Gerindra dan PKS, tapi sedikit kursinya.

Maka dengan banyak kursi yang dimiliki PDIP, sangat  menguntungkan Gibran dan pasangannya. Meskipun begitu, PDIP perlu membuka diri terhadap  hasil pemilihan dan konsekuensi politis  baik internal maupun eksternal partai, andai kata kalah bertarung.

Yang terakhir, Gibran adalah kader muda yang terjun ke dunia politik.  Gibran berkiprah dengan  bendera PDIP, berkepala Banteng.  Karena dengan sejumlah alasan tersebut di atas, dengan spekulasi politik yang ada, bahkan diakhir dari analisa dan penilaian, dikatakan bahwa di saat pemilihan nanti, diwanti-wanti pasangan Gibran berhadapan dengan "Kotak Kosong".  

Mengapa demikian? Karena tidak ada calon-calon lain. Tidak ada penantang dan pesaingnya.  Kotak kosong karena tidak ada orangnya sebagai calon tandingan bagi Gibran dan pasangannya.  

Memang menarik mencermati pencalonan Gibran-Teguh,   untuk maju dalam pilkada kota Solo. Pencermatan politik itu, menunjukan semua  spekulasi politik dan alasan mengapa Gibran terjun ke dunia politik.

Untuk itu, kita tidak boleh melewati semuanya itu, tanpa tidak mengetahui dan mengenal "visi-misi" pasangan ini. Hal itu yang sungguh mengungkapkan niat politik mereka yang mulia. Bagi Gibran, "menggaji-menghidupi pegawai, lalu ada dana CSR menbantu masyarakat" adalah hal yang wajar. Karena merupakan kewajiban. Tapi itu dirasakan Gibran tidak cukup. Jadi kalau mau menyentuh lebih banyak lagi orang maka kita harus terjun ke dunia politik".

Visi-misi politik  pasangan Gibran terungkap dengan jelas dalam tiga poin ini. Yang pertama, bisa menolong banyak orang miskin dengan lebih maksimal. Yang kedua, mempunyai dana operasional dan dapat dengan leluasa membantu orang miskin. Yang ketiga, bisa langsung membantu warga sesuai dengan kebutuhan dan masalahnya.  Inilah yang nanti dikerjakan kalau pasangan ini terpilih.

Namun belakangan ini, rasanya politik demokrasi di kota Solo semakin dinamis. Dinamika demokrasi memang satu keniscayaan. Maka setidaknya mulai terasa hangat memanas dengan  munculnya  calon-calon independen. Mereka muncul mendadak.  Mereka merupakan  pesaing- pasang Gibran di ajang pemilihan tersebut. Mereka hendak memastikan bahwa "Kotak Kosong"  itu nanti ada isi, ada muatannya. Maka mereka muncul, meski tiba-tiba. Kelihatanya, mereka merupakan  wajah dan nama baru yang "tidak populis"  di bidang politik.

Tujuan pencalonan mereka yakni supaya ada tandinganan di antara calon-calon di ajang pemilihan itu. Mereka muncul tepat di musim politik pemilihan wali kota Solo. Wajah baru calon-calon itu seperti pasangan "Bajo", Bagyo Wahyono -- F.X. Supardjo. Bajo adalah pasangan calon independen. Calon pasangan independen itu berprofesi sebagai penjahit di kampung dan ketua RW.

Dari Tribun Solo dikabarkan bahwa pasangan independen ini sudah memenuhi persyatan yang diminta. Dikabarkan kalau calon pasangan ini sudah mendapat 41 ribu KTP  sebagai dukungan  mereka. Yang menjadi visi-misi mereka adalah "sandang, pangan dan papan".  Mereka menegaskan bahwa keadilan belum merata dan bahwa masyarakat menginginkan perubahan. Sejauh mana pasangan Bajo ini dikenal dan mengenal Solo dan masyarakatnya?  Bajo menggarisbawahi  hal itu dengan menegaskan diri mereka  sebagai anak-anak Solo yang sering berjalan berkeliling. Artinya mengenal dengan baik wilayah kota Solo dan masyarakatnya.

Di samping pasangan Bajo ada juga pasangan lain di jalur independen yakni Ahmad Abu Yasin dan Muhamad Ali. Pasangan ini berasal dari komunitas pesantren. Mereka sudah mengumpulkan 35.870 suara yang siap mendukung mereka untuk pertarungan politik ini. Mereka berani bertarung melawan dominasi partai politik PDIP dan partai lainnya.

Nama lain yang disebutkan juga adalah  Putri Woelan Dewi Sari, anak keraton.  Dia adalah cucu dari Sultan Hamengkubuwono IX. Woelan sedang dalam  usaha mencari dukungan dari partai-partai politik. Kabarnya, dia sudah bersilahturahmi ke Partai Keadilan Sosial (PKS). Sebagai anak Solo, Woelan merasa terpanggil, dan berhasrat melayani masyarakat di daerahnya.

Tentang calon ini, ada yang menilainya sebagai calon tanding  biasa. Terkesan muncul tiba-tiba juga. Tetapi menurutnya, dia juga adalah seorang warga masyarakat Indonesia yang memiliki hak dan kesempatan untuk boleh terjun ke dunia politik di bumi NKRI ini.  Woelan menyadari bahwa  tidak mudah mengambil hati rakyat. Hal itu diperlukan perjuangan dan doa. Woelan juga bersedia untuk menjadi  wali kota ataupun wakilnya. "Semua itu tergantung pada amanah   masyarakat", katanya.

Dari perkenalan akan tokoh-tokoh calon yang ingin juga maju dalam konstelasi politik di Solo, mereka itu tentu bukan anak-anak partai tertentu, atau kader-kader yang sudah mendapat pendidikan politik secukupnya. Mereka adalah wajah-wajah baru meskipun  mereka semua adalah anggota masyarakat demokrasi.

Mereka menyatakan diri siap untuk menantang Gibran dalam pilkada wali kota Solo. Mereka hendak berpartisipasi di ajang pilkada wali kota Solo agar "Kotak Kosong" itu tidak sungguh kosong. Keniscayaan demokrasi dan dinamikanya membuka pintu dan peluang untuk kemenangan dan kekalahan.  Kedua hal terakhir ini berada di tangan rakyat. Rakyat mempunyai hak untuk memilih dan menentukan. Baik pasangan Gibran maupun calon-calon pasangan independen yang mengisi "Kotak Kosong",  wajib siap menerima hasil konstelasi demokrasi. Akhirnya, demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lalu, siapa yang lebih demokratis? Salam Demokrasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun