Mohon tunggu...
Zakaria Dafa Nugroho
Zakaria Dafa Nugroho Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa universitas panca sakti tegal prodi fkip pendidikan ipa

Mahasiswa fakultas keguruan ilmu pendidikan prodi pendidikan IPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Bukan Alam yang Baik

8 Oktober 2024   08:14 Diperbarui: 8 Oktober 2024   08:15 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari galeri

Suatu hari, di sebuah desa yang dulunya subur dan hijau, masyarakat hidup dengan damai, menggantungkan hidup pada alam. Sungai mengalir jernih, hutan di sekitarnya penuh pepohonan besar yang melindungi desa dari bencana. Udara segar dan langit cerah, memberi kehidupan bagi tumbuhan dan hewan. Desa itu adalah surga kecil yang belum tersentuh keserakahan modern.

Namun, ketenangan itu mulai terkoyak ketika perusahaan-perusahaan besar datang membawa janji-janji kekayaan instan. Truk-truk besar dengan alat berat masuk ke desa, memulai penebangan liar dan pengerukan tanah untuk tambang. Awalnya, warga desa tergoda oleh uang yang ditawarkan---uang yang bisa membangun rumah baru, membeli kendaraan, dan memenuhi impian mereka. Mereka mulai menyerahkan lahan, satu per satu.

Hari-hari berganti, dan suara-suara alam mulai berganti menjadi raungan mesin-mesin berat. Hutan perlahan-lahan lenyap, pohon-pohon yang dulu menjadi penopang kehidupan ditebang dengan brutal. Hewan-hewan lari ketakutan, dan tanah yang dulu kokoh kini mulai retak, kehilangan kesuburannya. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan sedang mendekat, sesuatu yang tidak disadari oleh penduduk desa.

Beberapa bulan setelah pengerukan tanah besar-besaran, bencana mulai menghantui desa. Hujan deras turun selama berminggu-minggu, namun kali ini terasa berbeda. Pada suatu malam yang gelap dan mencekam, suara gemuruh terdengar dari pegunungan. Tanah longsor tiba-tiba menghantam desa tanpa peringatan. Rumah-rumah di bagian tepi hancur dalam hitungan detik, menelan segalanya di jalur yang dilalui longsor. Teriakan panik menggema di udara, sementara penduduk berlari menyelamatkan diri dalam kegelapan yang mencekam.

Air sungai yang dulunya jernih kini berubah menjadi aliran lumpur pekat yang deras, menyeret apapun yang menghalangi jalannya. Banjir melanda rumah-rumah yang tersisa, menghancurkan ladang dan membawa penyakit. Anak-anak terbaring sakit, sementara air bersih tak lagi tersedia. Orang-orang mulai bertanya-tanya, apakah mereka sudah menjual jiwa mereka demi kekayaan semu yang kini menghancurkan desa mereka?

Budi, seorang pemuda desa, melihat kehancuran ini dengan mata kepala sendiri. Ia tahu sesuatu yang lebih buruk sedang menanti. Suatu malam, ia bermimpi buruk: ia melihat seluruh desa tenggelam dalam lautan lumpur, tanpa ada seorang pun yang selamat. Ia terbangun dengan keringat dingin, merasa ketakutan yang luar biasa.

Keesokan harinya, Budi mencoba memperingatkan para tetua desa. "Kita harus menghentikan ini! Jika kita terus begini, seluruh desa akan lenyap!" Namun, banyak yang tidak mau mendengarkan, merasa terlalu bergantung pada uang yang mereka terima dari perusahaan tambang.

Semakin hari, tanda-tanda bencana semakin jelas. Langit yang dulu cerah kini selalu mendung. Hewan-hewan buas yang biasanya tinggal di hutan mulai masuk ke desa, mencari tempat berlindung karena habitat mereka sudah hancur. Penduduk desa yang dulunya tenang, kini hidup dalam kecemasan. Mereka mulai merasakan akibat dari kesalahan mereka, tetapi sudah terlambat.

Pada malam paling mencekam, desa mengalami badai terparah. Petir menyambar pohon-pohon yang tersisa, angin kencang memporak-porandakan apa yang belum dihancurkan oleh longsor. Teriakan panik dan suara raungan angin menyatu dalam kegelapan, membangun suasana mencekam seolah kiamat sedang terjadi.

Budi tidak menyerah. Ia dan beberapa pemuda lainnya berusaha keras untuk menyelamatkan orang-orang, mengarahkan mereka ke tempat yang lebih tinggi. Namun, bencana alam yang begitu hebat ini seolah melawan mereka, mengisyaratkan bahwa alam telah muak dengan ulah manusia. Desa itu tenggelam dalam kekacauan, dan dalam sekejap mata, kehidupan yang dulu damai berubah menjadi perjuangan hidup dan mati.Setelah badai itu berakhir, yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran. Namun, Budi dan kelompoknya tidak menyerah. Mereka mulai menanam kembali pohon-pohon, satu per satu. Mereka tahu bahwa meskipun butuh waktu puluhan tahun untuk memulihkan desa, ini adalah satu-satunya cara agar mereka bisa bertahan.

Namun, dalam hati, Budi tahu: meskipun mereka bisa menyembuhkan alam, luka yang ditinggalkan oleh keserakahan manusia mungkin tak akan pernah sepenuhnya sembuh. Kengerian malam itu akan selalu menghantui mereka, mengingatkan bahwa alam bukan sesuatu yang bisa dirusak tanpa pembalasan. Alam, pada akhirnya, akan selalu menuntut keseimbangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun