Peristiwa tewasnya anggota FPI pasca penyerangan terhadap anggota kepolisian, kemudian penahanan atas MRS, rupanya telah menjadi makanan nikmat bagi beberapa lembaga. Misalnya, DPR, Kontras dan Komnas HAM.Â
"Makanan" itu mereka konsumsi dengan sukacita dan mereka mencoba menemukan kepuasan atasnya. Repotnya lagi, mereka menyeret masyarakat untuk ikut memakannya, agar apa yang mereka lakukan memang "nikmat" secara etika dan hukum. Kenapa mereka lebih memilih "makanan" yang ini? Ada beberapa alasan. Alasan-alasan itu faktual, bersifat obyektif dan sulit untuk terbantahkan.
Kita mulai dari DPR. Sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPR dalam beberapa waktu terakhir ini memang seperti diterjang oleh arus delegitimasi oleh rakyatnya sendiri.Â
Ada banyak keputusan DPR yang seolah melahirkan resistensi atas dirinya, sehingga muncul unjuk rasa yang bahkan meminta mereka membubarkan diri.Â
Sebuah lembaga yang anggota dipilih oleh rakyat, adalah sangat menyedihkan jika sampai pemilihnya kehilangan rasa kepercayaan terhadapnya.
Ketika muncul unjuk rasa penolakan terhadap Omnibus Law beberapa waktu lalu, DPR-lah yang menjadi sasaran tembak, karena DPR dianggap paling bertanggung jawab atas lahirnya RUU Cipta Kerja itu.Â
Meskipun DPR berkilah bahwa RUU itu merupakan usulan Pemerintah, tetap saja DPR tak bisa lepas dari tuduhan masyarakat. Pada posisi inilah kredibiltas DPR seperti terjerembab.
Demikian halnya juga dengan Komnas HAM. Komnas HAM punya wajah yang diragukan secara komitmen dan kredibilitas, atas sebab tidak hadirnya lembaga itu di beberapa kasus penting.Â
Setidaknya ada dua kasus yang mereka secara sengaja atau tidak telah melewatinya, membiarkan kasus itu menguap. Pertama, kasus Ruslan Buton yang telah menyebabkan tewasnya seorang warga.Â
Komnas HAM tidak ada di dalam pusaran kasus itu, tapi justru membela Ruslan Buton yang ditangkap polisi karena kasus pelanggaran UU ITE. Lalu kedua adalah kasus tewasnya empat orang di Sigi. Komnas HAM juga diam.
Apa yang dilakukan oleh Komnas HAM sesungguhnya mencerminkan kesejatian wajah mereka, yaitu memilih kasus dengan titik berat bukan di soal kemanusiaannya, tetapi adalah pada pertimbangan efek populisme, dalam hal ini adalah popularitas kelembagaan.
Itulah yang terjadi pada DPR dan Komnas HAM. Mereka membutuhkan kendaraan untuk bisa melaju mulus di jalan popularitas dan pembentukan image.
Saat ini, dua lembaga tadi memilih kasus MRS sebagai kendaraan. Mereka jeli memilih Isyu itu karena yakin kasus itu akan menjadi perbincangan nasional, bahkan internasional. Maka pada kasus itulah mereka melakukan pansos.
Dalam tata pergaulan netizen ada idiom pansos itu. Pansos adalah singkatan dari "panjat sosial", yang berarti sebuah sikap atau aktivias yang mendompleng nama seseorang atau kasus tertentu, untuk menaikkan nama sendiri.Â
Apa yang dilakukan oleh DPR dan Komnas HAM adalah bentuk pansos itu. Pansos pada kasus MRS. Mereka berharap dengan pansos pada kasus MRS maka mereka akan dapat perhatian masyarakat, yang bermuara pada naiknya kredibilitas mereka.
Tidak kalah Naif nya beberapa tokoh politik ( nasional ) ikut latah, menawarkan dirinya sebagai penjamin bagi MRS , agar MRS dapat dibebaskan dari tahanan Kepolisian yang ending nya mereka ingin agar MRS dapat dibebaskan dari segala jerat hukum yg saat ini menjerat dirinya.
Jika sebuah komitmen harus dibebani oleh naiknya popularitas, pembentukan image tertentu, maka jadi turunlah kadar komitmen itu. Memang sah saja secara hukum, tetapi secara etika menjadi hal yang kurang wajar. Seharusnya kan naiknya popularitas dan terbentuknya image baik, itu lahir dan hadir secara natural, bukan bersifat artifisial.
Kasus MRS adalah murni kasus hukum, maka secara obyektif harus juga dilihat pada point' of view itu, bukan menyeretnya ke hal lain, misalnya pelanggaran HAM oleh polisi.Â
Bagaimana bisa sebuah kasus hukum yang sedang diproses lalu dianggap ada pelanggaran HAM, sementara belum ada keputusan tetap atas kasus itu?Â
Mengangkat sebuah kasus hukum dan membawanya ke persoalan diluar konteks kasus itu hanya menciptakan keruwetan baru. Lebih jauh, akan melahirkan kecurigaan satu sama lain. Padahal hukum berjalan bukan pada landasan kecurigaan atau hal bersifat subyektif lainnya, tetapi adalah fakta hukum itu sendiri.
Maka jika DPR atau Komnas HAM atau lembaga atau tokoh politik apapun yang berada diluar garis kasus MRS ikut campur, terlebih membentuk panja atau panitia kerja, mudahlah kita duga: Panja itu hanya pansos... Hanya Tuhan Yang Maha Tau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H