Mohon tunggu...
MUHAMAD ZARKASIH
MUHAMAD ZARKASIH Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketahanan Budaya sebagai Kekuatan Sosial Politik

24 Februari 2021   09:30 Diperbarui: 24 Februari 2021   09:42 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ancaman pada suatu negara tidak hanya muncul dalam bentuk kekuatan militer tetapi juga nonmiliter sehingga ketahanan budaya diperlukan untuk membendung ancaman budaya dari luar negeri sekaligus menangkal benturan sosial di masyarakat. Ancaman suatu negara memang tidak hanya datang dalam bentuk militer sehingga perlu ada ketahanan kebudayaan untuk membendung ancaman budaya dari luar. 

Dalam strategi perang ada beberapa tahapan untuk dapat menguasai wilayah, salah satunya dengan menghancurkan sendi-sendi kehidupan baik bidang ideologi, politik, ekonomi maupun sosial budaya. Karena itu, ketahanan budaya adalah bagian dari ketahanan nasional.

Saat ini kita melihat ancaman terhadap eksistensi budaya kita datang dari berbagai penjuru, utamanya adalah dari media, media konvensional maupun digital (modern). 

Media konvesional seperti radio dan media cetak sangat kuat menginfiltrasi pikiran masyarakat kita, lewat tawaran-tawaran nilai baru yang dianggap modern namun seringkali bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita. 

Begitu banyak orang bergerak ke arah apa yang disebut sebagai "kemajuan" atau "modernitas", padahal sesungguhnya mereka sedang menaiki titian dimana kehampaan nilai dan etika yang tersaji. Maka berubahlah pola pikir dan cara hidup masyarakat kita.

Infiltrasi lewat media digital atau internet malah lebih masif lagi. Ia bahkan mampu memasuki ruang dan waktu setiap orang secara jauh lebih pribadi lagi, bahkan hampir tanpa batas. Penerobosan itu juga bahkan memasuki semua kalangan dari berbagai strata sosial dan umur. Maka bagi kalangan yang tingkat pendidikannya kurang memadai, juga anak-anak, menjadi komunitas yang amat rentan. 

Nilai-nilai baru yang mereka dapatkan, langsung saja ditelan, tanpa ada filter lagi. Pada situasi seperti itu, maka tak aneh jika banyak yang memaksakan diri tampil secara barat, meski kelihatan amat sangat norak, misalnya. Atau anak-anak yang kehilangan rasa hormat terhadap yang lebih tua.

Saat ini terasa sekali betapa nilai-nilai budaya kita mulai tergerus oleh nilai-nilai baru yang tak jelas, yang lebih mementingkan kemasan tanpa pertimbangan etika di dalam isinya. Ibarat makanan kaleng yang bagus kemasannya namun isinya dihiasi belatung. 

Hal-hal yang melawan etika, adat istiadat, bahkan agama, dengan mudahnya menjadi viral. Teorinya, hal-hal yang kontroversial adalah pintu masuk ke arah viral. Maka berlomba-lombalah semua orang, dari berbagai kalangan dan umur untuk berusaha menjadi viral.

Kunci dari permasalahan ini sebenarnya ada di dalam rumah, yaitu bagaimana setiap penghuni di dalam rumah menciptakan self cencorship atas diri masing-masing dan anggota keluarga lain. 

Orang tua jangan lagi merasa tenang karena anak-anak betah di rumah dengan gadget mereka, sementara orang tua juga jangan menjadikan gadget sebagai "sahabat setia" tempat mereka menumpahkan segalanya, sambil kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan anggota kelua

rga lain. Interaksi yang hilang itu menjadi ruang kosong dimana kemudian terisi oleh sikap-sikap apatis, egois, bahkan mungkin saja radikalisme. Ruang yang sumpek itu bukan tidak mungkin kemudian melahirkan sebuah situasi yang kacau dan crowded secara tata nilai dan pemikiran, juga kepribadian setiap orang. Sebuah keluarga yang kacau secara nilai akan menciptakan masyarakat yang juga kacau, yang pada akhirnya akan mengacaukan sistem nilai sebuah bangsa.

Penguatan budaya seharusnya dijalankan di rumah dan di wilayah-wilayah pendidikan (sekolah dan kampus), termasuk di komunitas-komunitas dimana orang-orang menghabiskan sebahagian waktunya. Kita mungkin sulit berharap akan ada prinsip penguatan budaya di dalam sistem kurikulum pendidikan kita, lantaran masih agak lemahnya sistem yang ada. 

Maka solusinya adalah menciptakan kegiatan ekstra kurikuler yang bermuatan budaya lokal. Local content yang diberikan secara berkala dan cair diharapkan akan menciptakan sebuah masyarakat yang memiliki tata nilai yang lebih Indonesia, yang mampu menjadi pertahanan kuat di dalam menghadang sistem budaya luar yang berlawanan dengan budaya lokal.

Kita menginginkan sebuah negeri yang aman, nyaman dan damai; secara sosial dan politik. Hal itu akan bisa tercapai jika masyarakat berjalan di track yang benar, yaitu pada sistem budaya lokal yang telah ada selama berabad-abad umur bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun