Mohon tunggu...
Zaiytomo
Zaiytomo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Manusia

saya hanya seorang manusia biasa yang bercita-cita menjadi manusia bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Beginilah Sistem Pendidikan yang Membunuh Karakter

4 November 2023   09:15 Diperbarui: 4 November 2023   09:23 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kota Sultan dalam Negara Imajiku, terdapat satuan pendidikan Sekolah Tinggi yang bernuasnakan modern. Karena Sekolah Tinggi ini berada dalam naungan Yayasan, maka bangunan dan manajemen pendidikannya disatukan dengan sekolah menengah yang dikenal sebagai "Boarding School". Meskipun tampak seperti sekolah elit dan modern, namun di dalamnya terdapat kebijakan pendidikan yang sangat otoriter. Kepala Yayasan, Bapak Dede Soedarna, adalah sosok pemimpin yang memimpin dengan tangan besi. Dia percaya bahwa hanya dengan cara yang ketat dan tegas, prestasi sekolah bisa tetap terjaga.

Bapak Dede Soedarna memberlakukan aturan-aturan yang sangat ketat. Mahasiswa dan mahasiswi diwajibkan mengikuti aturan Yayasan yang seharusnya hanya diterapkan pada satuan pendidikan tingkat menengah saja, bukan juga diterapkan pada Sekolah Tinggi. Beliau beranggapan siapa saja yang berada di dalam lingkungan Yayasan, maka harus mengikuti aturan yang diberlakukan oleh Yayasan. Semua sama, mau tingkat menengah pertama, menengah akhir, bahkan tingkat sekolah tinggi pun dihukumi dengan aturan yang serupa. Tak peduli dengan kurikulum merdeka atau dengan istilah kampus merdeka. Setiap tindakan yang dianggap melanggar aturan Yayasan, akan dihukumi dengan tegas dan segera. Dosen-dosen pun ditekan untuk memastikan bahwa mahasiswa dan mahasiswi patuh dan disiplin seperti para penduduk Asramanya.

Namun, di balik tirani yang terlihat, suasana di Sekolah Tinggi itu sangat tegang. Banyak mahasiswa yang merasa tertekan dan takut melakukan kesalahan, bahkan untuk membuka suarapun mereka tak berani. Mereka merasa bahwa kreativitas dan inovasi terkekang oleh aturan-aturan yang sangat ketat. Yang memang aturan itu seharusnya tak berlaku untuk Sekolah Tinggi. Pembelajaran menjadi monoton, hanya fokus pada penguasaan materi tanpa ada ruang untuk membangun pemikiran yang kritis atau eksplorasi kreatif. Sehingga para mahasiswa pun kesulitan untuk menggali dan mengembangkan qualiutas dirinya selaku mahasiswa. Mereka dihukumi layaknya santri yang tinggal di Asrama Yayasan.

Para Dosen pun merasa terjebak. Mereka harus mengikuti aturan Yayasan yang sangat kaku dan menekankan pada pencapaian nilai tinggi dalam ujian standar. Kreativitas dalam metode pengajaran ditekan, karena Bapak Dede Soedarna percaya bahwa hanya dengan patuh dan mentaati Dosen atau Guru adalah satu-satunya cara untuk sukses. Yayasan sibuk memperindah sampul, tetapi lupa meningkatkan qualitas isi.

Para mahasiswa, awalnya senang dengan reputasi Yayasan yang memiliki populeritas tinggi dan akreditas yang menjamin. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyadari bahwa kampus yang mereka pilih tak beda dengan pabrik yang hanya mementingkan waktu, dan aturan yang ketat. Mereka  tidak bahagia. Mereka kehilangan semangat belajar dan keingintahuan, yang seharusnya menjadi aspek penting dalam proses pendidikan. Mereka kesulitan untuk mengembangkan bakat dan kreatifitasnya.

Beberapa Dosen dan Mahasiswa yang berani menyuarakan keberatan mereka terhadap sistem pendidikan yang otoriter ini akan dianggap tidak beradab dan tidak sopan oleh pihak Yayasan. Bahkan Ibu Fatma selaku Kepala Sekolah Tinggi itu pun tak punya wewenang untuk menentukan dan memutuskan, semuanya tergantung kata dan perintah dari pemilik Yayasan. Adapun mereka yang berani dan berhasil berbicara kepada Bapak Dede Soedarna selaku Kepala Yayasan, hanya akan mendapat ceramah dan penolakan. Pak Dede Soedarna meyakini bahwa cara yang dia terapkan adalah satu-satunya cara yang paling benar.

Cerita di Sekolah Tinggi ini mencerminkan betapa pendekatan pendidikan yang otoriter dapat merugikan perkembangan Mahasiswa. Kreativitas yang terkekang, rasa takut yang melumpuhkan, dan kurangnya ruang untuk pertumbuhan pribadi bisa menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga kehilangan jiwa dan semangat eksplorasi yang seharusnya diperoleh dari proses pendidikan. Harusnya pemilik Yayasan bisa lebih bijak dalam menerapkan aturan, mana aturan untuk Asrama, mana aturan untuk Sekolah Menengah dan mana aturan untuk Sekolah Tinggi. Jangan hanya karena satu Yayasan dan satu lingkungan, maka aturan pun disamaratakan.

Yayasan yang sudah berdiri sejak tahun 1996 ini, saya namakan Yayasan Romeo Juliet. Yayasan ini berada disebuah kota yang saya bangun di dalam Imajinasi.

Ini hanya analogi semata, jika ada kesamaan nama, itu hanya kebetulan semata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun