Gestur mulai berubah, suara dan nada mulai ketus dan tidak bersahabat ketika diajak bicara, wajah tidak menarik lagi karena telah diwarnai dengan kekesalan di hati.Â
Itulah sebagian dampak dari apa yang kita lakukan sehari-hari dengan rutinitas yang tidak terarah. Akhirnya kita mengeluarkan vibrasi yang tidak nyaman kepada orang sekitar, pasangan hidup, anak, mertua dan tetangga serta lainnya.
Ketika kita berteman dan berbicara dengan orang yang berputus asa, maka kita akan terikut putus asa, ketika kita berbicara dengan orang yang senang marah kita akan terikut kesal, dan masih banyak contoh lainnya.Â
Mengapa terjadi demikian? Kita mendengarkan mereka pada saat energi kita rendah atau mungkin sama dengannya, maka energi rendah itu semakin menguat dan menarik kita pada level lebih ke bawah lagi.Â
Namun akan berbeda ketika kita mendengarkan mereka yang berputus asa pada saat level energi yang tinggi, maka kecenderungan kita akan menasihati dan mengarahkannya untuk menjadi seseorang yang lebih bersemangat.
Manusia saling menyerap dan bertukar energi, maka dari itu perlu memilih siapa teman bicara, sahabat dan lingkungan yang tepat karena hal ini sangat mempengaruhi cara pandang kita terhadap sesuatu.Â
Cara pandang menentukan masa depan seseorang, apakah ia akan menjadi seseorang yang sukses, jalan di tempat atau mundur karena persepsi yang salah terhadap diri sendiri.Â
Seseorang yang selalu memberikan semangat, mengeluarkan kalimat yang baik, selalu berusaha untuk berpikir positif dan memberikan manfaat hidup dengan perbuatan baiknya perlu dipikirkan untuk menjadikannya seorang sahabat.
Pikiran dan perasaan yang dijaga dengan baik tentunya bersama dengan teman bicara yang baik pula. Pernahkah kita berbicara dengan orang yang hanya selalu menceritakan keburukan orang lain? Berbicara tentang keluhan hidupnya terus menerus? Melihat orang yang putus asa dan lemah dalam bersikap? Sulit menentukan keputusan sehingga mudah terpengaruh?.Â
Tentu rasanya tidak nyaman berada pada posisi pikiran dan perasaan yang mereka alami, namun apakah mereka bersedia berdamai dengan pikiran dan perasaannya itu? Inilah ciri individu yang telah dikendalikan oleh pikirannya. Siapa yang mengendalikannya? Tentunya perasaannya sendiri.