Mohon tunggu...
Zairiyah kaoy
Zairiyah kaoy Mohon Tunggu... Penulis - Hipnoterapis, penulis buku seberapa kenal kamu dengan dirimu, bahagia dengan pemetaan pikiran.

Manusia sulit berpikir positif mengenai orang lain ketika ia berada pada muatan emosi negatif yang sangat kuat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Manusia Sulit Menemukan Wataknya Sendiri?

17 Oktober 2021   09:52 Diperbarui: 18 Oktober 2021   03:35 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Watak dan bakat merupakan bawaan dari setiap individu yang berpusat di lobus parietalis. Watak atau kepribadian ini tidak dapat diubah dan diganti hanya saja ia dapat tertutupi oleh luka di masa lalu, tidak diterima di masyarakat atau tergeser karena faktor lainnya. 

Manusia cenderung tidak mudah menemukan kepribadiannya sendiri ketika ia banyak mengalami tekanan dalam hidupnya sehingga mengharuskannya menjadi "orang lain".

Ilmu Hippocrates ini kian marak dibicarakan guna mengenali diri sendiri dan orang lain agar tidak rancu menyikapi dan tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain. 

Ilmu ini sangat efektif untuk menghindari jiwa dari kerusakan akibat trauma dan tentunya berdampak kepada hal-hal negatif lainnya seperti menjadi seorang pecandu narkoba, menyiksa orang lain dengan sikap verbal dan non verbal dari individu yang tidak mengenali dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Begitu pentingnya mengenali watak sendiri dan tentunya memberikan manfaat dan menghindari hal yang tidak diinginkan.

Ilmu watak yang kerap diusung dalam seminar oleh dr. Aisah Dahlan, Cht,CM,NNLP dan seorang psikolog Warda Lisa, MPsi.Psi memberikan banyak pencerahan kepada para wanita Indonesia khususnya. Namun tidak berhenti hanya wanita saja yang perlu memahami ilmu ini, para pria perlu mempelajari agar dapat menciptakan kebahagiaan dalam proses memimpin rumah tangganya dan agar lebih mudah menyikapi banyak hal di dalam keluarga maupun sekitar. 

Manfaat akan dirasakan bagi individu yang telah mampu mengenali diri, namun bagaimana dengan orang yang kebingungan dengan wataknya sendiri? Apa yang harus dilakukannya? Siapa yang paling mengenali dirinya? Dan mengapa sering terjadi salah mendeteksi wataknya sendiri? Berikut penjelasannya.

Kepribadian (Watak)

Psikologi kepribadian adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari kepribadian seseorang melalui sikap dan tingkah laku sehari-hari yang menjadi ciri khas individu tersebut. 

Kepribadian setiap individu merupakan hal yang istimewa yang sangat perlu dipelajari, ilmu ini sudah sejak lama bahkan sebelum masehi yang dikenalkan oleh Hippocrates seorang dokter dari yunani yang sering disebut dengan "bapak kedokteran" dan dikembangkan oleh Sigmund Freud seorang tokoh psikologi Barat. Ilmu ini terus dikembangkan hingga sekarang dan sangat bermanfaat bagi manusia.

Seperti kita ketahui bersama bahwa watak terbagi empat yaitu koleris, sanguinis, melankolis dan plegmatis. Ke empaat watak ini masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tentunya dan tidak sedikit juga yang masih tidak mengerti dengan jenis wataknya sendiri dan menghindari watak yang sering disebut-sebut sebagai kelemahannya. Pada akhirnya ia tidak menerima wataknya sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya.

Pada hakikatnya setiap manusia unik dan istimewa, namun kecenderungan manusia jarang mengakui titik kelemahannya sehingga ia lebih memilih menjadi orang lain atau menggunakan topeng watak karena berbagai sebab. Salah satunya adalah karena memiliki luka batin atau tidak ingin terlihat lemah dan dapat terjadi sebaliknya, ia ingin diterima oleh orang sekitarnya dengan menjadi sosok yang lemah agar ia mudah dipahami oleh orang lain.

Mengapa terlihat rumit dalam menjalani hidup hingga menjadi orang lain atau berperan dalam berbagai karakter di dalam diri sendiri?

Terkadang manusia tidak mudah menerima segala watak berdampingan dengannya hingga individu menggunakan peran lain di dalam kehidupan bersosialisasi. Apakah salah menggunakan topeng? Tentu saja tidak, namun ia akan menjadi lelah dan menguras energi karena tidak sesuai dengan dirinya sendiri.

Menurut dr.Aisah Dahlan, CHt, CM, NNLP, Kebingungan dengan watak sendiri ini dikarenakan watak asli yang terpendam akibat tekanan dari lingkungan yang mengharuskannya melakukan hal demikian. 

Sebagai contoh, misalnya anak pertama yang memiliki watak melankolis namun harus membimbing adik-adiknya sehingga membuat ia menjadi seorang koleris. 

Wanita dengan wajah bahagia sedih memegang topeng | Sumber: shutterstock
Wanita dengan wajah bahagia sedih memegang topeng | Sumber: shutterstock

Bisa juga terjadi pada orang plegmatis yang cenderung mengalah pada siapa saja dan suatu ketika ia berubah menjadi seorang koleris karena merasa lelah dimanfaatkan dan jenuh dengan tekanan dari orang sekitarnya.

Watak ini tidak dapat berubah secara total hanya dapat ditimpa sesaat dan kembali lagi pada watak aslinya. Topeng-topeng ini hanya akan muncul ketika dalam keadaan yang mengharuskannya seperti itu walaupun tidak terlalu sempurna seperti watak-watak asli topeng tersebut. 

Para individu bisa seolah memiliki empat watak di dalam dirinya ketika ia mulai mempelajari berbagai watak dari orang sekitarnya dan watak asli yang menjadi ciri khasnya tetap akan terlihat.

Siapa yang Paling Mengenali Watak dan Sebab Terjadinya Topeng Watak

Seharusnya diri sendirilah yang memahami watak itu. Namun karena perjalanan usia dan tentunya banyak pengalaman hidup yang dijalani dengan berbagai fenomenanya, kita agak kesulitan menemukannya. 

Watak dapat dilihat dari keseharian yang dominan, apakah ia senang berbicara (sanguinis), memerintah orang lain untuk tujuannya (koleris), mengalah dan damai saja (plegmatis) atau cenderung memikirkan banyak hal di dalam pikirannya dan mudah tersinggung dengan hal sepele (melankolis).

Walaupun keempat watak ini memiliki beberapa kesamaan seperti koleris dan melankolis yang senang berpikir namun hal yang dipikirkan sangat berbeda. 

Para kolerik memikirkan jalan keluar dan ingin serba cepat lalu segera ingin menemukan solusi tetapi melankolis berpikir sangat panjang dan membutuhkan waktu untuk pengambilan keputusan karena memiliki sikap yang berhati-hati. 

Demikian pula dengan sanguinis dan plegmatis memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memiliki sifat humoris namun terdapat perbedaannya. Sanguinis humor yang spontanitas dan plegmatis agak lama dicerna oleh yang mendengarnya.

Persamaan yang lainnya yaitu plegmatis dapat tiba-tiba menjadi seperti seorang koleris. Ketika sang plegmatis telah hilang kesabarannya ia akan melawan tekanan itu dengan memberontak dan bersikap spontanitas untuk membentak orang lain walaupun pada akhirnya ia akan menyesal. Karena desakan tersebut plegmatis dapat terlihat seperti seorang koleris yang sering marah dan tegas. 

Demikian pula sanguinis yang tidak diterima di lingkungannya karena kepopulerannya sehingga ia mudah dimusuhi oleh orang lain pada akhirnya ia menjadi seolah seperti seorang melankolis yang pendiam dan mengisolasi diri sesaat.

Apa yang Harus Dilakukan

Jalan termudahnya adalah menjadi diri sendiri itu lebih menenangkan hati dan tidak kelelahan psikis, namun ini tidak mudah bagi orang-orang melankolis karena banyak hal yang dipikirkannya. 

Menjadi melankolis yang sebenarnya lebih baik agar mereka mengetahui bahwa kita memang melankolis sehingga mereka dapat memahami para melankolis. 

Bagaimana dengan orang-orang yang dengan sengaja memanfaatkan kelemahan melankolis?

Menurut saya abaikan saja dan mengalihkan pikiran kepada pemikiran yang kreatif dan bermanfaat, tidak selamanya overthingking itu buruk, selagi kita bisa mengetahui kekuatan dari watak itu sendiri.

Bagaimana pula dengan orang yang memanfaatkan watak mengalah dari para plegmatis? 

Dikatakan oleh psikolog Warda Lisa, MPsi.Psi bahwa "plegmatis harus berani untuk mengatakan tidak kepada hal yang tidak diinginkannya". 

Mengatakan tidak, dalam rangka melindungi diri dari manipulasi para koleris, pada dasarnya jiwa damainya mengatakan iya agar tidak terjadi konflik namun perlu menghindari perbuatan memaksa dari pihak lain dengan mengatakan tidak terhadap hal yang tidak diinginkan.

Apakah hanya para introvert yang perlu melindungi dirinya? Tentu saja dua watak ekstrovert juga memiliki kelemahan, yaitu mudah marah (koleris) dan mudah dipengaruhi (sanguinis). Kelemahan ini juga sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang buruk perangainya. 

Para koleris dapat mengurangi kelemahannya tersebut dengan lebih fleksibel dalam bersosialisasi dan para sanguinis yang polos menanggapi atau memaparkan sesuatu lebih mampu menahan diri agar tidak terlalu menceritakan hal-hal pribadinya kepada banyak orang.

Begitu pentingnya manusia mengenali kepribadiannya sendiri agar tidak mudah kelelahan secara psikis. 

Mengetahui watak merupakan solusi untuk hidup lebih damai dan dapat melindungi kehidupan bersosialisasi, rumah tangganya, kedamaian keluarga dan lingkungannya. Terutama tidak terjerumus kepada hal yang tidak diinginkan karena keringnya baterai kasih dari unsur watak tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun