Werkudara atau Bima dalam kisah Dewa Ruci menunjukkan kemandirian dalam menghadapi rintangan. Dalam pencegahan korupsi, individu perlu memiliki kemandirian untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika, bahkan dalam situasi yang sulit. Pendidikan moral dan karakter dapat membantu mengembangkan kemandirian ini.
- Perjuangan Menemukan Jati Diri:
Kisah Dewa Ruci mengajarkan pentingnya perjuangan untuk menemukan jati diri. Dalam konteks pencegahan korupsi, individu perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai diri mereka dan tidak tergoda oleh godaan kekayaan atau kekuasaan yang dapat membawa pada perilaku koruptif.
- Bersatunya Hamba dengan Tuhan:
Konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan, dapat diartikan sebagai kesadaran moral yang tinggi. Masyarakat yang memiliki kesadaran moral yang kuat cenderung lebih mengutamakan kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi. Ini dapat membantu mencegah tindakan korupsi yang merugikan banyak orang.
- Pembersihan Diri dari Hambatan:
Sena dalam kisah Dewa Ruci harus menghadapi dan mengalahkan raksasa Rukmuka dan Rukmala, yang mewakili hambatan dari kemewahan dan kekayaan material. Dalam konteks pencegahan korupsi, individu perlu membersihkan diri dari godaan materi dan melawan hambatan-hambatan moral yang dapat mengarah pada perilaku koruptif.
- Sifat-sifat Positif untuk Samadi:
Sifat-sifat seperti rila, legawa, nrima, anoraga, eling, santosa, gembira, rahayu, wilujengan, marsudi kawruh, dan samadi yang dijelaskan dalam kisah Dewa Ruci dapat dijadikan panduan untuk membentuk karakter yang kuat dan menghindari perilaku koruptif.
- Pentingnya Kesadaran dan Pengetahuan:
Sena akhirnya menemukan air suci bukan di hutan, tetapi di dasar samudra. Hal ini menunjukkan pentingnya kesadaran dan pengetahuan yang mendalam dalam mencari kebenaran. Dalam konteks pencegahan korupsi, pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif korupsi dapat membantu mencegah terjadinya tindakan koruptif.
Kesimpulan
Kisah Dewa Ruci Werkudara, meskipun berasal dari cerita pewayangan Jawa, memberikan pandangan yang berharga dalam konteks pencegahan korupsi yang dapat diaplikasikan pada kepemimpinan di Indonesia. Kepemimpinan yang kokoh dan bermoral dapat menjadi fondasi kuat untuk menciptakan masyarakat yang bersih dan berintegritas.
Kepemimpinan yang membangun budaya kepatuhan, kemandirian bertindak, dan perjuangan menuju jati diri menjadi landasan penting dalam upaya mencegah korupsi. Ajaran moral dan filsafat hidup yang terkandung dalam kisah ini memberikan inspirasi untuk membentuk pemimpin yang tidak hanya unggul secara profesional, tetapi juga memiliki karakter yang kuat.
Pentingnya bersatunya hamba dengan Tuhan, seperti yang diajarkan dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti, mengingatkan bahwa pemimpin yang memiliki kesadaran moral yang tinggi akan lebih mungkin memimpin dengan tujuan yang benar dan tidak tergoda oleh nafsu pribadi. Kesadaran ini juga menciptakan kepekaan terhadap nilai-nilai yang bersifat universal, yang pada gilirannya dapat mengurangi potensi tindakan koruptif.