Gegara belakangan ini suka dengerin lagunya Payung Teduh jadi kangen nulis disini lagi. Mungkin terbawa suasana hati menikmati lirik lagunya Payung Teduh yang puitis dan bikin adem. Sesuai dengan nama bandnya Payung Teduh, bener-bener membuat teduh alunan musiknya.
Karena suka dengan lagu lawas, saat pertama mendengar alunan musik Payung Teduh langsung jatuh hati. Serasa mendengar lagu tempo dulu, padahal Payung Teduh ini band era kekinian, tapi mereka mengusung jenis musik perpaduan folk, keroncong dan jazz. Mendengarkan Payung Teduh seperti mendengar genre musik era 60 - 70 an. Bahkan menurutku di beberapa lagu terdengar seperti alunan musik jaman piringan hitam. Duh jadoel banget...
Puisi dan Payung Teduh seperti pasangan yang tak terpisahkan. Hampir keseluruhan lagu dibalut lirik yang apik. Lirik lagunya tercipta dari rangkaian kata yang sederhana, namun terdengar puitis. Ini mengingatkan pada karya puisinya Sapardi Djoko Damono.
Bicara tentang Payung Teduh, ada hal yang seru tentang salah satu lagunya. Bukan tentang lagu Akad yang lagi ngehits atau soal lagu Akad yang di cover oleh Hanin Dhiya yang menuai polemik. Tapi tentang lagu Resah yang punya sisi cerita yang menarik. Â
Lagu Resah ini enak banget alunan musiknya, diputar berulang-ulang ga ada bosannya. Tapi mendengar komentar tentang cerita dibalik lirik lagu ini agak sedikit seram, entah hoax atau bukan. Bahkan banyak yang berkomentar jadi merinding mendengar lagu ini setelah ada yang menyebar cerita mistis makna liriknya yang entah kebenarannya.
Memang sih ya saat lagu sudah sampai ke telinga pendengarmya, ibarat sebuah puisi yang dibaca oleh orang lain, setiap orang bebas menginterpretasikan maknanya. Mengesampingkan cerita yang beredar dibalik lirik lagu Resah, menurutku ini lagu keren abis, liriknya sangat puitis dengan musikalitas tinggi.
Ketika mendengarkan beberapa lagu Payung Teduh seperti Menuju Senja, Resah, Kita adalah sisa sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan ( panjang banget ya judulnya), Kucari Kamu, Cerita tentang gunung dan laut, Angin Pujaan Hujan. Jadi teringat puisi-puisiku di kompasiana. Semenjak K berganti wajah akibatnya ada beberapa artikel yang lenyap, tapi semoga puisiku tidak ada yang hilang. Karena semua puisi yang kutitipkan disini meski hanya karya puisi yang sederhana, namun dibuat dengan sepenuh hati.
Menulis puisi itu relaksasi, jalan sunyi menepi dari keriuhan. Saat ingin mengungkapkan kata yang tak terucap, puisilah tempatnya.
Entah kenapa saat mendengar Payung Teduh hasrat menulis yang lama beku perlahan mencair. Seketika sekelebat peristiwa berlarian mendekat, seakan berbisik, "ceritakan dan tuliskanlah dalam sebuah puisi agar tak terlupa oleh waktu".
Terlalu banyak yang ingin ditumpahkan lewat kata. Satu hal penting yang mesti dituliskan adalah  tentang rasa syukur masih diberi nikmat sehat dan bisa terus berkarya. Â
Ah tak terasa ribuan aksara jatuh dalam hujan, akhirnya kembali berteduh meninggalkan jejak kata disini, meski terasa asing seperti memasuki rumah yang lama tak terjamah dan penuh debu, saking lamanya tak mampir menulis. Terlupakan dan tenggelam oleh kesibukan di dunia nyata yang mampu mengalihkan dunia kata-kata.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H