seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu bening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma
atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi?
(1971)
Mungkin banyak yang belum mengenal puisi Narcissus, lain halnya jika kita ditanya puisi karya SDD yang berjudul 'Aku Ingin' dan 'Hujan Bulan Juni', saya yakin banyak yang sudah pernah membacanya, karena kedua puisi ini memang sangat popular dan banyak yang suka.
Dari 102 sajak yang terhimpun dalam antologi Hujan bulan Juni, pada kesempatan ini saya akan menuliskan sejumlah puisi yang saya suka diantaranya puisi yang berjudul Di Restoran, Pada Suatu Pagi hari, Aku Ingin, dan tentu saja Hujan Bulan Juni.
Yuk, kita simak puisi dengan judul 'Di Restoran'. Membaca larik-larik sajaknya saya seakan turut larut dalam suasananya, pilihan katanya sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan itu ada kedalaman makna yang tersimpan. Setiap kita akan memiliki penafsiran masing-masing akan makna yang tersirat dalam puisi ini.
DI RESTORAN
kita berdua saja, duduk. aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput
kau entah memesan apa. aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras
kau entah memesan apa. tapi kita berdua
saja, duduk. aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkungnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
(1989)
Membaca sajak-sajaknya SDD saya seakan terseret dalam pengembaraan imaji yang menyentuh relung hati. Membuat saya berdecak kagum dengan kepiawaian seorang Sapardi dalam merangkai kata dengan kalimat sedernana nan lembut, pilihan kata yang tidak rumit, namun di tangan SDD sekumpulan kata yang sederhana menjelma puisi nan indah dan sarat makna.