Mohon tunggu...
Zainur Ridho
Zainur Ridho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Logika - Senjata Pamungkas Melawan Hoaks

16 Januari 2024   08:28 Diperbarui: 16 Januari 2024   08:31 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di tengah lautan informasi di era digital saat ini, kemampuan berpikir kritis dan logis bak senjata pamungkas yang mampu memisahkan fakta dari opini, kebenaran dari kebohongan. Sayangnya, kemampuan ini tidak diajarkan secara memadai kepada publik. Masyarakat awam tidak difasilitasi untuk memahami logika dasar agar terhindar dari jebakan informasi keliru dan hoaks.

Merujuk sejarah, logika sesungguhnya telah menjadi fondasi peradaban manusia sejak zaman Yunani Kuno. Para filsuf seperti Aristoteles dan Socrates bahkan meletakkan logika dan retorika sebagai salah satu pilar pendidikan penting di samping matematika, astronomi, dan musik. Sayang formulasi logika klasik ini kemudian menghilang dari arus utama pendidikan di kebanyakan negara.

Akibatnya, kemampuan menganalisis argumen dan mendeteksi kekeliruan berpikir tidak diajarkan secara memadai. Masyarakat modern yang tercerahkan seharusnya tidak mudah termakan isu dan informasi yang salah kaprah, apalagi jika berurusan dengan topik-topik serius seperti kebijakan publik, pemilihan pejabat, dan penentuan arah bangsa.

Kini, di tengah banjirnya hoaks di media sosial yang kerap memicu konflik dan permusuhan dalam masyarakat, upaya revitalisasi logika menjadi penting. Prinsip-prinsip logika dasar seperti mengenali argumentasi keliru, falasi logika, dan retorika propaganda perlu diajarkan secara luas agar masyarakat tidak mudah tertipu.

Sebagai contoh, dengan memahami logika dasar, masyarakat bisa mengenali bentuk argumentasi post hoc ergo propter hoc yang kerap muncul. Argumentasi ini menyimpulkan bahwa jika peristiwa B terjadi setelah peristiwa A, maka A yang menyebabkan B. Argumentasi ini jelas keliru logikanya karena ada banyak faktor lain yang bisa menjadi penyebab B. Namun, argumen model ini sering muncul dalam wacana publik dan menyesatkan opini.

Atau, publik perlu memahami apa itu argumentasi lingkaran (circular reasoning) agar tidak mudah percaya pada pembenaran semu. Dalam argumentasi lingkaran, kesimpulan yang ditarik sebenarnya sudah terkandung dalam premis awal sehingga tidak masuk akal. Sayangnya, bentuk argumentasi ini kerap muncul dalam debat kusir, terutama di ranah daring.

Jika prinsip-prinsip logika dasar ini diajarkan secara luas kepada publik dan difasilitasi sebagai gerakan literasi digital, saya yakin masyarakat bisa lebih kritis dan rasional dalam menyaring informasi. Kemampuan berpikir analitis dan logis masyarakat akan meningkat sehingga hoaks dan propaganda keliru tidak akan mudah menyebar.

Perang melawan hoaks dan kebohongan di ruang publik memerlukan senjata pamungkas, yaitu logika. Kita perlu gerakan masif untuk menjadikan logika sebagai bagian penting dari pendidikan literasi digital agar masyarakat modern tidak mudah ditipu dan dimanfaatkan kepentingan sempit. Inilah tantangan terberat zaman now yang mesti dijawab dengan penguatan fondasi berpikir rasional.

Pentingnya literasi logika bagi publik sesungguhnya bukan hanya terbatas pada penanggulangan hoaks dan kebohongan informasi. Logika yang baik memiliki manfaat jauh lebih luas bagi tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dengan kemampuan logika dan berpikir rasional yang memadai, masyarakat bisa menjadi pengawas yang baik atas penyelenggaraan negara. Argumentasi dan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat bisa dengan cepat dideteksi dan dikritisi. Diskursus dan debat publik terkait hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama bisa berjalan lebih sehat.

Selain itu, penguatan literasi logika juga bisa membantu penegakan hukum dan sistem peradilan menjadi lebih baik. Dengan kemampuan menganalisis bukti dan fakta secara logis yang dimiliki aparat penegak hukum dan hakim, kasus-kasus hukum bisa diselesaikan dengan lebih adil dan tidak berpihak. Judgment errors yang kerap terjadi akibat bias kognitif atau emosi bisa ditekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun