Mohon tunggu...
Zainuri Hanif
Zainuri Hanif Mohon Tunggu... pegawai negeri -

blogger, kegemaran membaca dan sepak bola, tapi sekarang banyak nontonnya doang... ^_^ http://zainuri.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilematis, Jika Harus Menjadi Wanita Karir

25 Januari 2010   06:18 Diperbarui: 23 Agustus 2015   15:03 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ciri kesuksesan wanita karir adalah ketika ia mengalami masalah dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Dan jika hubungan dengan suami sudah dalam puncak konflik (maksudnya cerai), itulah ciri puncak karir segera dicapai. Setidaknya, itulah kesimpulan dalam film The Devil Wears Prada, film yang beberapa waktu lalu tak sengaja kutonton

D
D
. Film ini mengisahkan jalannya bisnis tabloid fashion Rupert Murdoch, Raja Media Internasional. Film ini mengisahkan dinamika wanita karir di majalah fashion yang dimilikinya. Miranda Priestly (Meryl Streep) wanita sang CEO yang mempunyai anak kembar yang nakal bahkan sudah cerai-nikah 3 kali dan senantiasa memiliki masalah rumit dengan suami. Kepemimpinannya memang berselera tinggi, tegas, keras dan semena-mena.

Tangan besi itulah yang membuat karyawan begitu segan dan takut, bahkan tidak ada asisten yang bisa bertahan lebih dari satu tahun walau sepintar apapun. Tapi toh ia tidak gusar, jutaan wanita cantik dan cerdas lainnya menginginkan posisi itu, tidak perlu menunggu waktu lama posisi itu pasti akan terisi kembali. Terkadang ia meminta sesuatu yang aneh dan mustahil. Misalnya, si asisten tadi –Andy Sachs (Anne Hathaway), diminta mencari kisah lanjutan Harry Potter untuk dua anak kembarnya dengan cara apapun yang sulit didapat bahkan jika harus minta pada JK Rowling sekalipun. Jika sampai pukul 15.00 sore naskah itu tidak didapat, maka ia didepak. Wanita yang sangat berhasil dan mandiri seringkali tidak memiliki pasangan karena mereka tidak menyadari (lambat menyadari) mengapa mereka membutuhkan pria. Secara statistic, semakin berhasil seorang wanita dalam hal keuangan, semakin rendah kemungkinan dia menikah, dan semakin tinggi kemungkinan untuk bercerai. Kebanyakan perceraian tersebut merupakan inisiatif wanita. Statistik berubah saat wanita belajar merasakan kebutuhan akan pria dan menghargai apa yang diberikannya.

Edward O. Wilson, ahli sosio-biologi ternama dari Harvard University secara sistematis telah mengamati kecenderungan gender kita. Dia menemukan bahwa wanita lebih banyak mencari empati dan rasa aman daripada pria dan mempunyai kemampuan verbal dan sosial yang lebih tinggi. Sementara itu, pria cenderung lebih mandiri, agresif dan dominan serta menunjukkan kemampuan spasial dan matematis yang lebih tinggi. Situasi yang seharusnya sederhana ini menjadi sangat rumit dan melelahkan kalau kita tidak memahami dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada.

Mengapa Kita Stres?

Sumber stres yang dramatis selama lima puluh tahun terakhir ini adalah perubahan peran pria dan wanita. John Gray dengan jitu menggambarkannya sebagai berikut: Dulu, pria bekerja mencari nafkah bagi keluarga. Kebanggan dan keberhasilan yang dirasakan, ditambah dengan kasih sayang dan dukungan yang didapat di rumah, membantunya mengatasi berbagai stres sehari-hari. Dahulu wanita lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus rumah dan keluarga sembari berteman dan berkontribusi kepada masyarakat. Meski menjadi ibu rumah tangga itu cukup berat, tersedianya waktu yang cukup untuk memfokuskan pada hal-hal yang perlu dikerjakan memungkinkan wanita untuk menyesuaikan irama hidupnya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalisir stres. Ada pekerjaan pria dan adapula pekerjaan wanita. Tidak banyak tuntutan lain terhadap pasangan selain menjadi pencari nafkah, dan biasanya yang berkaitan dengan urusan mengangkat-ngangkat barang berat.

Dengan meningkatnya biaya hidup dewasa ini, gaya hidup tersebut tidak lagi menjadi pilihan banyak wanita. Semakin banyak wanita ikut mencari nafkah. Bersamaan dengan itu, gerakan wanita telah menyadarkan para wanita dan menginspirasi lebih banyak diantara mereka untuk memilih karir yang memuaskan agar dapat mengembangkan seluruh potensi dan bakat mereka. Ketika wanita pulang dari kerja dan merasa berkewajiban menjaga kerapian rumah dan keluarga, dia harus melakukannya di sela-sela tuntutan pekerjaan. Ini merupakan stres baru dan membutuhkan dukungan pemecahan yang baru. Tidak mengherankan kalau wanita merasa bingung antara tuntutan pekerjaan  dan rumah tangga. Sekarang ini, kita menghadapi efek samping dari perubahan wanita yang semakin menjadi seperti pria dalam lingkungan kerja. Keberhasilannya dalam lingkungan kerja sering menuntut banyak pengorbanan bagi banyak wanita. Pria tidak lagi cukup sekedar pencari nafkah. Kalau wanita bekerja di luar rumah, agar adil maka pria juga harus membantu pekerjaan di dalam rumah dan bersikap suportif dalam hubungan mereka. Muncullah tuntutan kalau wanita melakukan “pekerjaan tradisional” pria, maka pria juga harus melakukan “pekerjaan tradisional” wanita. Kedengarannya cukup bagus, tapi ada lagi sudut pandang lain. Seperti wanita yang mengharapkan pria untuk berubah, pria pun mengharapkan wanita untuk berubah. Kebanyakan pria, hingga kadar tertentu, menginginkan pasangan mereka menjadi dewi rumah tangga seperti ibu-ibu mereka dahulu. Pria ingin pulang ke rumah dan mendapatkan dukungan istri yang menyayanginya. Karena ia melakukan apa yang dilakukan ayahnya, sang istri pun harus melakukan apa yang dilakukan ibunya. Tanpa menyadari kerepotan mengurus rumah tangga yang berjalan mulus, pria mengharapkan sesuatu yang mustahil dari wanita.

Setara Bukan Berarti Sama

Untuk memberikan penghargaan yang sama, kita harus menyadari bahwa kita berbeda dan saling mendukung adanya perbedaan tersebut. Penghargaan artinya menghormati seseorang sebagai dirinya sendiri dan secara terbuka mengapresiasi keadaannya. Wanita berperan menjaga cinta kasih, keluarga, dan hubungan. Ketika wanita tak lagi menjadi wanita dan terlalu stres untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut, kita semua dalam kesulitan. Wanita mengingatkan pria tentang hal-hal penting dalam hidup ini. Wanita menjaga kebijakan dan menginspirasi pria untuk menghayati tindakannya. Pria bisa saja mempunyai visi yang besar, tetapi wanitalah yang memberi fondasi yang bermakna. Ketika wanita tidak bahagia, tak ada orang yang bahagia. Untuk mengatasi sumber konflik ini, pria dan wanita perlu saling lebih memahami. Pria harus mengerti apa yang dialami wanita. Wanita sudah cukup mengalami tekanan internal berkaitan dengan urusan rumah tangga. Tekanan lain dari pria bisa dengan mudah membuatnya gusar. Wanita pun perlu mengenali dan memahami apa yang bisa dan tidak bisa diberikan pria sebagai dukungan.

Pekerjaan Idaman Wanita

Tidak ada larangan secara mutlak wanita dalam berkarir. Bahkan perannya dibutuhkan dalam membangun sebuah peradaban. Sentuhannya diperlukan agar hidup ini lebih humanis. Perannya begitu istimewa. Yang perlu adalah melakukan penyesuaian terhadap peran yang sekarang ini mulai menjauhkan dari kodrat asasinya. Banyak wanita yang ingin berkarir setinggi-tingginya untuk mengembangkan potensi dan bakatnya atau bahkan mencari status sosial. Tapi sungguh mengagumkan masih banyak pula yang bercita-cita luhur dengan lebih mementingkan keluarga. Ada teman yang ingin menjadi guru, walau jurusan tidak sesuai. Ia mendambakan waktu yang longgar untuk keluarga, waktu libur lebih banyak karena ketika siswa libur, maka sang guru ikut pula liburan. Ya, alasannya simple, ingin lebih banyak waktu untuk keluarga. Ada juga yang menolak posisi yang diidam-idamkan banyak orang sebagai auditor dan memilih menjadi pegawai struktural yang dipandang tidak lebih sibuk. Peran wanita selalu ada dalam setiap masa. Di balik seorang pahlawan hebat, ada seorang wanita hebat dibelakangnya. Pria bisa saja mempunyai visi yang besar, tetapi wanitalah yang memberi fondasi yang bermakna. Ketika wanita tidak bahagia, tak ada orang yang bahagia.  [zh] 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun