Oleh ZAINUN AHMADI
(Anggota Wanhat Baitul Muslimin Indonesia PDI-Perjuangan)
                                                              ( Bung Karno & Ibu Fatmawati )
Setahun setelah pernikahan Bung Karno dengan Ibu Fatmawati, lahir putera pertama yang memberikan kegembiraan tiada tara. Menjelang kelahiran, kedua orang tua dan kedua mertua Bung Karno datang di Jakarta, dan mereka sabar menunggui hingga saat kelahiran. Di malam akan melahirkan, diadakan jamuan makan dan Ibu Fat sibuk melayani sebagai nyonya rumah. Saat merasakan sakit mau melahirkan, Bung Karno sendiri yang memapah ke kamar dan menungguinya semalaman hingga dini hari. Tepat saat kumandang adzan shubuh, lahirlah putera pertama yang diberi nama Moehammad Goentoer Soekarnoputra.
Berbeda dengan kelahiran anak kedua Bung Karno dengan Ibu Fat, tiga tahun kemudian. Â Bung Karno melukiskan suasana hati sedemikian dramatik, detik-detik jelang lahir puteri pertamanya: "Malam itu, petir menggeledek seperti hendak membelah angkasa. Isteriku terbaring di kamar tidur yang disediakan rumah sakit. Tiba-tiba lampu padam, atap di atas kamar runtuh, awan yang gelap dan berat melepaskan bebannya dan air hujan mengalir ke dalam kamar seperti sungai. Dokter dan para juru rawat mengangkat Fatmawati ke kamar tidurnya sendiri. Dia basah kuyup seperti juga perkakas dokter, kain sprei, dan kasur. Pendeknya semua basah. Di dalam kegelapan malam, hanya dengan cahaya pelita, lahirlah puteri kami. Kami memberi nama Dyah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri."Â Â Â
Dibesarkan di lingkungan istana, masing-masing putera-puteri Bung Karno mempunyai pengasuh. Mereka bersekolah Taman Kanak-kanak di istana, berbaur dengan anak tukang kebun, anak sopir, dan anak-anak lain yang tinggal di sekitar istana. Pengalaman menantang Mbak Mega dimulai dari istana ini, saat Ibu Fat memutuskan enggan mendampingi Bung Karno lagi, meninggalkan istana. Kala itu Mbak Mega berusia 12 tahun, sebagai puteri sulung terpanggil untuk mengambil alih peran ibunda terhadap adik-adiknya.
Perjalanan hidup di istana terus mengalir, dan setiap hari menjadi pelajaran kepemimpinan yang berharga bagi perkembangan jiwanya. "Jika tamu-tamu sudah pulang, Bapak mengajak berdiskusi tentang berbagai hal yang dibicarakan dengan tamu-tamu tadi. Ada Om Jo (J. Leimena), pak Nas (AH Nasution) dan lain-lainnya. Dari situ saya mulai banyak tahu. Jika ada peristiwa nasional atau internasional yang menarik perhatian, kepada kami sering diberikan penjelasan. Itulah masa-masa paling berharga", demikian Mbak Mega, menulis kesannya.
Pengalaman langsung dengan realitas politik juga meninggalkan kesan mendalam bagi Mbak Mega. Seperti peristiwa granat di Cikini yang membidik ayahnya, terpaksa berhenti kuliah di Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran karena dipersulit (dibatasi ruang geraknya, diawasi, disertai ancaman dan intimidasi), hingga penahanan Bung Karno  oleh rezim orba di saat sedang sakit parah.Â
Semua menjadi pengalaman perjuangan tersendiri, dan itu pula yang menempanya untuk senantiasa tabah dan kuat lahir batin menghadapi gelombang politik yang menghadang. Sejak memutuskan masuk ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1987, bersama suami tercinta Taufiq Kiemas, pergolakan sepak terjangnya meninggalkan jejak sejarah emas; mendongkrak perolehan suara PDI secara signifikan menjadi 44 dari sebelumnya hanya memperoleh 24 kursi. Jumlah suara di DPR-RI itu terus meningkat, dan pada Pemilu 1992 mencapai 56 kursi.
* Jejak langkah itu menemukan jati dirinya tatkala menghadapi serangkaian tekanan politik rezim terhadap de facto ketua umum partai, peristiwa pilu 27 Juli 1996, hingga melahirkan era reformasi. Perubahan nama partai menjadi PDI-Perjuangan semakin meneguhkan ketokohannya.Â