Oleh: ZAINUN AHMADI
(Wanhat Baitul Muslimin Indonesia PDI-Perjuangan)
"Waktunya sudah tepat bagiku untuk mendirikan partaiku sendiri"; demikian Bung Karno mengekspresikan pergolakan pemikirannya setelah kala itu melihat di dalam negeri tidak ada satu pun persyarikatan politik yang kuat. Sementara, hubungan Belanda dengan Hindianya (baca: Indonesia) terputus akibat peperangan di daratan Eropa. Sang Proklamator ini gelisah dan merasakan tidak ada sarana baginya untuk mendesakkan nasionalisme demi tercapainya kemerdekaan. Maka pada tanggal 4 Juli 1927, Bung Karno mendirikan Persyarikatan Nasional Indonesia yang berideologi politik marhaenisme dengan maksud tujuan yang tegas, yaitu untuk mengusahakan Kemerdekaan Indonesia.
76 tahun kemudian di zaman merdeka. Dalam keadaan yang kurang lebih sama, seorang Megawati Soekarnoputri gelisah menyaksikan tingkah polah pimpinan partai politik, hanya menjadi alat penguasa yang dholim selama lebih dari seperempat abad. Megawati terpanggil memenuhi desakan arus bawah untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jejak langkahnya berliku dan berdarah-darah, mulai dari intervensi secara masif penguasa, adu domba, represi, manipulasi, dan kekerasan fisik mental diperlakukan kepada Megawati dan pendukungnya. Penderita Megawati agak mirip yang dialami oleh Bung Karno dan PNI kala itu. Akibat aktivitas politik bersama PNI, Bung Karno harus rela keluar-masuk penjara tanpa proses pengadilan dan diasingkan jauh ke pulau seberang.
Fusi juga diberlakukan terhadap partai lain yang kemudian berhimpun didalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai ini pun tidak lepas dari perlakuan 'diobok-obok' penguasa agar pimpinannya saling cakar-cakaran sehingga layak disebut sebagai 'partai mengambang', dan dengan konstituen massa yang mengambang pula. Secara kualitatif, penataan kepartaian oleh penguasa (pada zaman itu) memang dimaksudkan untuk de-ideologisasi, dengan puncaknya penerapan asas tunggal Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan politik kekuasaan rezim. Indoktrinasi ke masyarakat dilakukan secara terstruktur melalui Program Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang berimplikasi serius bagi PNI karena seolah membenturkan Marhaenisme dengan Pancasila. Bagi orde baru, keberadaan partai politik rupanya hanya dijadikan sebagai pelengkap penderita agar pemerintahannya dapat dianggap sebagai negara demokratis di mata dunia internasional.
Pasca fusi parpol yang dipaksakan, ternyata tidak cukup mampu mengurangi konflik di tingkat pemerintahan, melainkan hanya merupakan pengalihan konflik ke dalam tubuh parpol hasil fusi. Kegaduhan yang timbul menjadi miniatur dari konflik nasional di masa lalu. Persaingan diantara para tokoh sesama parpol maupun antar lintas parpol, egoisme unsur, dan campur tangan pemerintah silih-berganti memantik gesekan kegaduhan. Hal demikian sepertinya sengaja dipelihara secara terencana dan sistematis. Penguasa terus-menerus memupuk kesenjangan diantara kondisi tiap parpol; mulai dari perbedaan latar belakang sejarah, basis massa, motif politis para pimpinan, rivalitas individu, dan orientasi ideologis antar parpol. Pada gilirannya, sumbu pendek kompor yang gampang disulut mengobarkan api konflik, tanpa upaya memadamkan kebakaran. Akibatnya segala tekanan, manipulasi, saling sikut, saling 'bunuh' didalam tubuh parpol semakin intens berlangsung.
* Menjadi hal yang lumrah jika kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) kembar. Jika ketuanya yang diharapkan pro-penguasa ternyata 'mbalelo', akan segera dilakukan pembusukan untuk menyingkirkannya. Situasi demikian berlangsung berulang-ulang kali, dan puncaknya saat penolakan penguasa terhadap Megawati menjadi ketua umum PDI. Dalam Kongres Luar Biasa 1993 di Surabaya yang ricuh, menyusul Kongres PDI Keempat di Medan yang mengalami deadlock, Megawati secara de facto akhirnya ditetapkan dalam Munas di Jakarta sebagai ketua umum periode 1993-1998. Tetapi hasil akhir kepengurusan ini; Â DPP-PDI menjadi kembar.
Kepengurusan kembar membawa kemelut politik yang amat serius, penguasa memaksakan kehendak harus senafas dengan para pembina politik dalam negeri, menentang kepemimpinan Megawati yang didukung arus bawah, media massa, pengamat dan berbagai komponen masyarakat secara masif. Dalam kepanikan penguasa, cara kekerasan ditempuh, dan terjadilah peristiwa pilu 27 Juli 1996 (disebut Peristiwa Kudatuli) yang justru menyebabkan aksi perlawanan terhadap penguasa semakin meluas. Megawati menyerukan boikot politik terhadap Pemilu 1997 dan menyerahkan suara partainya kepada PPP --populer dengan sebutan 'Mega Bintang' yang menangguk banyak suara pemilih.
Kepengurusan kembar terus berlanjut di awal Era Reformasi. PDI versi Megawati menginisiasi perubahan nama partai semata untuk memenuhi syarat legal formal menjadi peserta Pemilu. Maka dalam KLB di Bali diputuskan perubahan nama menjadi PDI-Perjuangan. Pemilu 1999 menjadi arena pembuktian secara nyata; PDI Soerjadi bangkrut total, sedangkan PDI-Perjuangan memenangkan Pemilu di Tingkat Nasional dengan perolehan suara 34%.
Tantangan Zaman Now lebih dahsyat bagi semua parpol, termasuk PDI-Perjuangan. Bagaimana PDI-Perjuangan menjaga Kebhinnekaan di tengah arus politik identitas keagamaan. Samuel Huntington sudah mengingatkan bahwa identitas agama dan budaya akan menjadi sumber konflik dalam negara, dan fenomena media sosial telah mempercepat kohesi sosial masyarakat yang cenderung terkoyak. Basis politik identitas itu mampu membelah ke dalam kelompok yang berseberangan satu dengan lainnya secara tajam, menjadikan kegamangan partai-partai terhadap basis ideologi mereka sendiri, karena kepentingan pragmatik lebih menonjol dibanding ideologis maupun program partai. Kegamangan yang tidak bakal dialami PDI-Perjuangan, pemegang teguh pluralisme yang kini terus berjaya. Â
Digahayu PDI-Perjuangan. Merdeka !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H