Tetapi TK ingin membuktikan bahwa pluralisme --dua ideologi Islam dan nasionalisme, Â bisa bersatu seiring-sejalan demi untuk kejayaan bangsa. Kebangsaan adalah kesadaran diatas keberagaman yang disebut sebagai satu bangsa. Kesadaran berbangsa dan bernegara dibangun dengan nasionalisme, bukan primordialisme. Tetapi lebih didasarkan pada cita-cita bersama kehidupan berkebangsaan.
Bagaimana menyulam berbagai etnis, ras, suku, bahasa dan budaya di negeri ini menjadi kekuatan dalam berbangsa? TK berpendapat hal itu harus ditarik keluar dari kepompongnya. Dengan watak egaliter, secara sadar TK menjauhi kultus individu, sukuisme dan primordialisme sempit, seraya berseru dalam berbangsa dan bernegara hendaklah lebih berpihak kepada cita-cita keindonesiaan yang lebih luas.Â
Misinya ini mempunyai signifikansi karena terbukti TK memberi warna lain dalam wacana dan perkembangan nasionalisme di Indonesia, dan di zaman now telah nyata ada suasana baru di partai-partai berhaluan nasionalis.
Watak egaliter, terbuka, tapi sekaligus nasionalis akan melahirkan kultur demokrasi gotong royong, dan ini terdapat pada figur TK. Hal demikianlah yang membedakannya dengan banyak tokoh nasionalis lain yang cenderung feodalistis serta menjaga jarak. TK mendobrak mitos historis, seolah untuk menjadi nasionalis seseorang harus Islamphobia; menjadi nasionalis berarti harus berhadapan dengan Islam.Â
Pikiran sedemikian sesungguhnya sesat dan menyesatkan. Islam tidak mengajarkan dikotomi, bahkan terhadap sebutan Islam abangan dan Islam santri. Pemahaman palsu demikian yang selalu memperhadapkan antara Islam dengan nasionalisme.
TK terus bergerak menyebarkan pluralisme, mendorong kemampuan setiap komponen bangsa dalam mengakomodasi berbagai perbedaan dapat menemukan jalannya.Â
Dalam bentuk konkrit antara lain dengan mendirikan Baitul Muslimin Indonesia, sebagai organisasi sayap PDI- Perjuangan. Pembentukan organisasi ini murni culture reform, bukan kelanjutan dari Jamiatul Muslimin (Jamus) PDI sebelumnya yang berlaku seperti pusbintal -- Pusat Pembinaan Mental, di berbagai instansi pemerintahan saat itu.
Kini setelah TK menghadap Ilahi-rob, kewajiban kita meneruskan perjuangannya; keluar (lebih dari sekedar move on) dari trauma konflik historis berkepanjangan dan kemudian membuka kesediaan bersama untuk mengikis habis kesenjangan-kesenjangan apapun. Karena sesungguhnya, kesenjangan (gap) inilah yang menyuburkan tumbuhnya pengelompokan dan fanatisme sempit.
Selamat Istirahat Panjang Mahaguru TK, doa tulus untukmu.
Jakarta, Desember 2017