Mohon tunggu...
Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

LPDP Dipilih Tuhan untuk Menyelamatkan Impian Anak Pelosok

11 Februari 2017   05:43 Diperbarui: 11 Februari 2017   08:13 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlihat dari jendela dalam flatku. Langit mulai cerah, sinar matahari pun mulai menyapa belahan utara daratan Irlandia. Walau begitu, udarapun tak mau kalah dengan henbusan dinginnya, berhembus beriringan, saling kejar-kejaran melalui celah-celah gedung tinggi yang tersusun rapi dengan khas arsitektur Eropa. Seakan menghempaskan terpaanya kepada apa saja yang ada di depannya.

Hari itu, tanggal 17 September 2015, hari pertama menginjakkan kaki di Kota Belfast, Irlandia Utara, United Kingdom (UK). Hari pertama merasakan dinginnya udara di Kota ini. Cukup dingin, mencapai 6 derajat celcius. Padahal, ini belum musim Winter. Sejujurnya, saya masih belum percaya bahwa udara dingin ini akhirnya bisa kunikmati setelah hampir pernah berniat mematikan impianku sendiri untuk memutuskan kuliah ke luar negeri melalui jalur beasiswa-beasiswa bergengsi. Tidak mudah bagi seorang anak kampung yang tinggal di pelosok timur Indonesia dengan latar belakang keluarga yang cukup sederhana dan bermodalkan pendidikan di daerah sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. It seems like an extremely impossible dream.

Memimpikan sesuatu itu memang mudah, namun percaya pada apa yang kita impikan itulah yang sulit. Seringkali, ketika berdoa sekalipun, kita kadang tak percaya apakah impian atau cita-cita yang kita sisipkan dalam doa itu pantas atau tidak untuk dipanjatkan? Bagaimanapun juga, doa juga mesti realistis, kan? Mesti sadar diri bahwa apakah doa itu memungkinkan untuk diwujudkan atau tidak. Untungnya, saya selalu meyakini bahwa memiliki mimpi dengan setinggi-tingginya impian itu tak ada salahnya. Toh, kalaupun tak terwujud, just nothing to lose aja! Seperti katanya Presiden Soekarno, “Bermimpilah setinggi langit! Karena, jikapun kau terjatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang!”

Tiba-tiba saja, ingatanku berputar ke 5 tahun yang lalu dimana saya tak tanggung-tanggung untuk menuliskan nama-nama kampus top dunia dalam daftar cita-citaku. Harvard University, Stanford University, Cambridge University, Oxford University, University College London, dan banyak lagi kampus-kampus top dunia dalam bidang pendidikan yang kutuliskan, lalu pajang gambarnya di setiap sisi tembok kamarku.

Entah bagaimana orang lain berusaha memahaminya jika melihat potongan-potongan poster itu. Tapi bagiku, itu selalu menjadi peletup semangat disaat ketidakpercayaan diri mulai muncul. Ketika semangat mulai down, atau bahkan focus yang tak stabil lagi. Gambar-gambar itu selalu berhasil menginjeksi semangat baru untuk kembali mengejar impian itu. Seperti pesan seorang temen, “Jangan kau simpan impianmu hanya dalam ingatan, bro! Tulis saja! Karena ingatan bisa lupa, sementara tulisan tidak, kan!”

Lebih dua tahun lamanya saya memaksimalkan usaha dan ikhtiar untuk memantaskan diri atas apa yang terpanjatkan dalam doa-doa itu; ‘yeah, lanjut studi ke luar negeri’. Tak ada cara lain, kecuali dengan mengejar beasiswa. Hidup di daerah pedalaman membuat saya kesulitan untuk mendapatkan informasi beasiswa. Kalaupun dapat informasinya, harus punya skor TOEFL untuk penuhi persyaratan yang diminta. Sementara di daerahku, tempat kursus TOEFL hanya ada satu. Jikapun mau test, harus menunggu jumlah tertentu baru test bisa dilaksanakan. Kalau sudah begitu, pilihannya adalah harus merantau ke kota untuk mengikuti kursus dan test. 

Dengan penuh keyakinan, sayapun memutuskan untuk merantau ke pulau Jawa untuk mendalami bahasa asing daripada langsung memutuskan untuk lanjut kuliah. Pilihan yang sulit, dimana ketika anak-anak daerah lain ke Jawa untuk kuliah, sementara saya memilih untuk kursus. Dari sinilah semua cobaan itu bermula. Akan saya ceritakan dalam tulisan ini tentang cobaan itu.

Berat..!! Bukan karena impian itu sendiri, tapi karena awalnya impian itu tak sepenuhnya didukung oleh orang-orang terdekatku, diragukan oleh keluargaku. Mungkin karena dianggap terlalu berat, terlalu tinggi. Kuliah ke luar negeri dengan beasiswa bergengsi. Ini adalah hal baru di mata mereka. Hal baru bagi orang-orang di kampungku. Memang, sudah banyak wargaku yang keluar negeri, tapi berstatus sebagai buruh, sebagai pembantu, sebagai TKI. Saya tak ingin begitu. Saya ingin ke luar negeri dengan status sebagai pelajar.

Namun begitulah, mereka malah memandangku dengan keragu-raguan. Anak kampung mana mungkin bisa kuliah ke luar negeri. Begitu kira-kira stigma yang mereka yakini. Sementara saya, tetap meyakini bahwa kita boleh berasal dari kampung, tapi impian dan cita-cita kita tak boleh kampungan! Ini sungguh menjadi tantangan untuk harus membuktikan bahwa anggapan mereka atas impianku adalah “absolutely wrong”.

Karena impianku cukup tinggi, maka untuk mewujudkannya tentu butuh usaha yang tinggi, keringat yang lebih banyak, energy yang lebih besar, persiapan yang lebih matang, waktu yang lebih lama, biaya yang lebih tinggi, kesabaran dan pengorbanan yang tak sedikit, doa yang maksimal, serta konsistensi yang sungguh-sungguh. Karena usaha tak pernah membohongi hasil. Sebab, untuk meraih beasiswa bukan hanya tentang meningkatkan kelebihan-kelebihan, tapi juga tentang melampaui keterbatas-keterbatasan. Hanya mereka yang bersungguh-sungguh yang akan berhasil. Seperti mantra yang terkenal itu, ‘man jadda wajadda’.

Setahun yang lalu, aku berdiri tegak di salah satu kampus berkelas dunia di belahan utara Eropa, dianugrahkan beasiswa penuh oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk melanjutkan studi di Queen’s University Belfast, United Kingdom (UK). Dan hari ini, sayapun telah diwisuda. Ah, bahagianya!

Walau bukan kampus utama yang saya impikan, tapi ini sangatlah tepat untukku menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya. Telah kuserahkan langkahku kepada Tuhan, kemanapun saya diantarkanNya, akan saya syukuri dan jalani sepenuh hati. Karena apapun yang kita dapatkan hari ini yang bukan rencana kita sebelumnya adalah cara Tuhan untuk menunjukkan kita bahwa Dia memiliki rencana yang jauh lebih indah.

Kupatrikan niatku, ku luruskan hajatku. Karena niat adalah penentu dari segala usaha. Begitulah niat! Berada di awal, namun penentu hasil akhir. Banyak yang sukses dalam hal proses, namun gagal dalam hal niat atau tujuan! Aduhai, alangkah malangnya..!! Usaha yang tak terhitung sebagai amal ibadah!

Benar saja, kesempatan di luar negeri tidak saya sia-siakan. Berbagai capaianpun saya torehkan, baik akademik atau non-akademik. Termasuk, terpilih sebagai ketua PPI Belfast dan berhasil mengantarkan PPI Belfast sebagai PPI Kota of the Year se-United Kingdom; terpilih mengikuti Inspiring Leaders bersama pemimpin-pemimpin muda dari berbagai dunia; terpilih sebagai pemenang Ide Bisnis Terbaik di Belfast, berkesempatan menjadi pembicara di Konferensi Internasional di Hungaria, dan banyak capaian-capaian lainnya.

Ah, lagi-lagi rasanya tak percaya, tapi itulah faktanya. Tuhan selalu punya rencana yang begitu indah bagi siapapun yang menyakini kebesaranNya. Dan, Tuhan telah memilihkan saya - anak kampong ini - Beasiswa LPDP sebagai jembatan yang telah mengantarkan saya untuk membuktikan bahwa ‘pun, anak kampong memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk sukses!’

Terima kasih, Tuhan!

Terima kasih, LPDP!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun