Mohon tunggu...
Jay Z. Pai
Jay Z. Pai Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menulis saja

suka musik dan jalan - jalan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Makam Habib Kwitang, Oase di Tengah Padang Pasir Ibu Kota

15 April 2021   12:16 Diperbarui: 17 April 2021   17:43 2477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumen Pribadi

Jakarta tidak hanya menawarkan keriuhan kota besar. Jika kita cukup cermat, sebenarnya Jakarta menyimpan 'sumur' bagi mereka yang tertarik dengan ziarah, dengan mendatanginya, kita seperti menemukan oase di tengah gurun pasir bernama Ibu Kota.  

Tepat setahun saya kembali lagi ke ibu kota, setelah berjarak cukup lama. Tidak banyak yang berubah dengan Jakarta. Rutinitas perkantoran, jalanan yang padat merayap, cerobong asap pabrik, dan jajanan pinggir jalan yang memenuhi wajah kota ikut menjelaskan kenapa Jakarta masih saja sama. Jakarta masih menjadi kota tempat kumpulan para nomad yang mencari puing-puing rupiah.

Begitupun alasan saya ke Jakarta masih sama, apalagi kalau bukan memenuhi tugas kantor, tidak ada alasan lain.

Setelah menyelesaikan kerjaan, saya menyempatkan diri untuk singgah di daerah yang cukup populer karena sebuah film. Anda yang pernah menggebu-gebu karena film Ada Apa Dengan Cinta pasti tau betul tempat itu. Tempat Rangga dan Cinta jalan pertama kali, dimana Cinta akhirnya ngambek  dan pergi karena di bilang gak jelas plus gak punya privasi. duuhh

Benar, tempat mana lagi di Jakarta kalau bukan Kwitang.

Kwitang di kenal sebagai daerah yang menjual aneka buku, termasuk buku-buku tua. Tak heran banyak juga yang menyebutnya 'loak' karena menyimpan koleksi buku sejak zaman old.

Tapi sebenarnya, jika ke sana, anda bisa mendapatkan sekaligus dua pengalaman wisata. Saya lebih suka menyebutnya ziarah. Pertama, ziarah intelektual, kedua ziarah spiritual.

Saya tidak akan menceritakan yang pertama, sebab saya kesana memang niatnya bukan beli buku. Untuk itu saya hanya akan menceritakan soal yang kedua; pengalaman pertama saya ziarah makam di ibu kota.

***

Di bawah keramaian dan kepadatan khas kota-kota besar, ternyata Jakarta menyimpan tempat ziarah berupa makam 'keramat'. Di tengah kota ada makam keramat. Ini unik menurut saya.

Biasanya makam ulama terletak jauh dari pusat kota, bahkan seringkali berada diketinggian dan jauh dari pemukiman warga. Seperti Makam Kiyai Modjo yang ada di tempat asal saya, Sulawesi Utara.

Dari Manado anda harus menempuh jarak sekitar 45 menit untuk tiba disana. Letaknya di kampung Jaton, akronim dari Jawa-Tondano. Karena tempatnya lumayan tinggi, maka anda harus menaiki tangga yang cukup melelahkan kaki. Sampai di atas, anda bisa langsung melihat pemandangan kampung jawa tondano.

Mungkin di tempat anda juga sama, jika bukan diketinggian maka lokasi makam terletak jauh dari keramaian kota, umumnya begitu. Akan tetapi, berbeda dengan makam yang saya ziarahi kali ini, lokasinya tepat di pusat kota.

Sebenarnya ada beberapa makam yang bisa  anda kunjungi di Jakarta. Saya memilih ziarah ke Makam Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi atau lebih di kenal dengan nama Habib Ali Kwitang (1869 -- 1968).

20 April nanti adalah peringatan hari lahir (haul) beliau. Menurut beberapa sumber yang saya baca, Habib Ali Kwitang merupakan pelopor majelis taklim modern di Indonesia.

Sekitar abad 20-an awal, ketika pulang belajar dari Timur Tengah (Hadramaut), beliau langsung membentuk majelis taklim bernama Majelis Taklim Habib Ali Alhabsyi. 

Ini dilakukan sebagai bentuk pengabdian atas ilmunya. Konon majelis taklim rintisan beliau jauh lebih dulu ada daripada majelis dzikir perkotaan yang digawangi oleh para ustad populer abad 21.

Berdirinya majelis taklim rintisan Habib Ali ini mendapat sambutan yang cukup baik dari warga Jakarta. Akhirnya, nama Habib Ali mulai di kenal bersamaan dengan berkembangnya majelis taklim rintisannya. 

Tak heran peziarah makam beliau tidak hanya berasal dari dalam negeri, ada pula yang dari luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.

Singkatnya, Habib Ali Kwitang merupakan ulama nusantara yang cukup di kenal. Saya sendiri mengetahuinya dari cerita-cerita yang beredar. Karena penasaran dan kebetulan lagi berada di Jakarta, maka saya sempatkan untuk ziarah.

Dari penginapan, saya menempuh waktu 15 menit untuk tiba di Kwitang, tepatnya jalan keramat raya. Setibanya di lokasi saya pun harus jalan kaki melalui gang yang tidak terlalu besar namun cukuplah untuk ukuran kendaraan roda dua. Daerahnya padat penduduk, dikelilingi rumah warga, saat itu banyak anak kecil yang sedang bermain bola kaki padahal malam hari. Memang hobi tidak bisa dibatasi waktu.

Saya diingatkan oleh supir grab, kebetulan dia juga pernah ziarah, bahwa makam Habib Ali Kwitang terletak di dalam area Masjid Al - Riyadh, konon masjid ini didirikan atas prakarsa beliau sendiri, tentu di bantu oleh jamaah sekitar.

Saya kesana malam hari, bukan karena ada alasan khusus, tapi memang hanya itu waktu luang yang tersisa. Maklum, pekerja kantoran level 'bawahan' seperti saya tentu tidak bisa mengatur waktu semaunya di luar waktu pimpinan. 

Setelah mendapatkan izin dari penjaga makam yang ditemui, saya langsung masuk kedalam. Makamnya terletak di dalam ruangan berukuran cukup untuk 10 sampai 15 orang, tepat di tengah ruangan. Sementara,  di samping kiri-kanan makam, terdapat rak buku, persis buku do'a yasin dan tahlil pada umumnya.

Kebetulan malam itu ada juga orang yang sedang ziarah. Saya langsung mengambil tempat di sebelahnya dan memenuhi niatan ziarah

***

Keberadaan makam ulama di pusat kota, mungkin bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para peziarah yang haus akan spiritualitas, khususnya warga kota yang cenderung mengalami 'kekeringan religius'.

Ada beberapa kelebihan yang bisa didapati, jelasnya, warga kota Jakarta tidak perlu mengeluarkan cost yang besar dalam rangka ziarah, kecuali mereka yang memang berada jauh di luar Jakarta, atau dia merupakan tipikal peziarah ulung, dimana soal biaya tidak jadi masalah.

Selain itu, ziarah makam ulama mungkin bisa menjadi alternatif bagi warga kota yang butuh tempat untuk istirahat dari rutinitas keseharian yang 'memabukan', semacam 'jeda eksistensial' yang sifatnya sementara.

Dalam ziarah, anda bisa melakukan kontemplasi, refleksi, bertafakur, mengambil pelajaran dari yang mati sebagai rujukan atau bekal pengalaman bagi mereka (kita) yang hidup. Mirip laku sufi perkotaan (urban-sufisme). 

Istilah itu disematkan kepada orang-orang yang melakukan pencarian spiritual karena merasa terasing dari agama, akibat aktifitas kerja yang padat. Dan tenggelam dalam kemajuan kota yang kian 'materialistis', dimana segalanya dihitung dengan angka; uang dan kekuasaan. 

Jadi, ziarah makam ulama bisa menjadi instrumen terapi psikologis, sebagaimana menurut Komaruddin Hidayat dalam empat alasan kemunculan sufi perkotaan (urban-sufisme). 

Tapi ingat ya, sifatnya sementara, bukan selama-lamanya, kecuali anda sudah meninggal dunia. Kalau begitu anda bukan peziarah, malah anda yang diziarahi. Hehehe

***

Setelah selesai melaksanakan niatan ziarah, saya langsung balik ke penginapan. Padahal saya masih ingin sedikit lebih lama, berhubung ada beberapa pertanyaan yang ingin saya obrolkan dengan penjaga makam. Namun waktu semakin larut, sementara pukul 2 pagi saya harus balik ke Manado.

Mungkin lain waktu jika berkesempatan kembali, beberapa pertanyaan yang mengendap akan saya utarakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun