Mohon tunggu...
Politik

Salah Kaprah Jampidsus Tentukan Kewenangan Menyidik

31 Maret 2016   15:49 Diperbarui: 31 Maret 2016   16:02 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen  ke-4 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum yang ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (supremacy of law). Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum tercantum  dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.

[caption caption="hukumacaraperdata.com"][/caption]Jika Indonesia memang negara hukum (rechtstaat) maka semua seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus ada jaminan hukum yang pasti. Apabila ada yang melanggar tentunya kita setuju akan ada sanksi bagi yang melanggar.

Di Indonesia, hukum menjadi satu-satunya harapan agar korupsi yang sudah mendarah daging di dalam diri birokrat kita bisa diberantas. Dengan semangat antikorupsi inilah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 oleh Presiden Megawati, meskipun saat itu baik di Polri maupun Kejaksaan memiliki divisi khusus untuk menyidik tindak pidana korupsi.

Korupsi merupakan extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa oleh dunia internasional dan dibutuhkan penanganan yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Lahirnya Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi berhasil menjerat sejumlah nama tenar dari tokoh partai politik yang terlibat korupsi besar seperti mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum PPP Suryadhama Ali, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq, dan lain sebagainya. Pemberantasan korupsi ini membuat rakyat Indonesia makin yakin jika suatu saat bangsa ini akan terbebas dari korupsi.

Keberhasilan KPK menjerat koruptor nampaknya membuat institusi penegak hukum lain seperti Polri dan Kejaksaan Agung seolah iri. Mereka pun seakan ingin “unjuk gigi” kepada masyarakat bahwa mereka memiliki kewenangan dalam memberantas korupsi dan memang diharuskan untuk menyidik kasus korupsi tiap tahunnya. Kita sebagai masyarakat tentunya persaingan dalam menjerat pelaku korupsi adalah hal yang positif karena makin banyak kasus yang bisa diungkap.

Namun, kita tentu berharap bahwa institusi penegak hukum ini bisa bertindak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku di Indonesia. Saya teringat kasus yang sedang sering diberitakan di media online dimana Kejagung sedang menyelidiki kasus PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Grand Indonesia (GI) terkait Build, Operate, and Transfer (BOT) dimana PT GI dituduh membangun Menara BCA dan Apartemen Kempiski di luar perjanjian. Dalam kasus ini Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menduga ada kerugian negara yang disebabkan dua bangunan di atas.

Yang menjadi pertanyaan besar saya, apa bisa Kejagung menyidik kasus ini? Lalu pasal apa yang akan dikenakan? Jika kita melihat fakta hukum yang ada, PT HIN yang merupakan BUMN mengadakan perjanjian bisnis kepada PT CKBI yang akhirnya menunjuk PT GI sebagai pelaksana. Artinya, mereka mengadakan perjanjian BOT yang sistemnya kurang lebih sama dengan sewa-menyewa dan faktanya, baik PT HIN dan PT GI adalah dua badan hukum yang mengadakan perjanjian dimana tata cara dan penyelesaian sengektanya diselesaikan secara perdata.

Oleh karena itu, menurut analisis saya, Kejagung, khususnya Jampidsus tidak bisa menyidik kasus ini karena kasus tersebut merupakan ranah perdata. Jika Jampidsus masih ngotot ingin memidanakan kasus ini maka korps Adhyaksa tersebut telah melanggar Pasal 20 undang-undang nomor 86 tahun 1982 Tentang Pokok-Pokok organisasi Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi “Tugas pokok Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus ialah melaksanakan sebagian tugas utama Kejaksaan di bidang yustisial yang menyangkut tindak pidana khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung”. Sementara dalam kasus PT HIN dengan PT GI bukan merupakan tindak pidana khusus yang bukan yuridiksi Jampidsus.

Jika melihat pemberitaan di media, Jampidsus seolah akan menggunakan Undang-undang tipikor, jadi mari kita bedah sangkaan yang dilayangkan Jampidsus. Definisi Tindak Pidana Korupsi menurut uu nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1.       korupsi adalah perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

2.       Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

3.       Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.

4.       Merugikan keuangan Negara.

 

Melihat keempat unsur di atas rasanya sulit mengkategorikan kasus ini dalam UU Tipikor dan PT GI tidak bisa disangkakan. Mengapa? Karena PT GI adalah badan hukum yang bergerak di bidang bisnis, bukan pejabat negara yang dimaksud dalam pasal tersebut. PT GI juga tidak menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang dimilikinya untuk memperkaya diri sendiri serta merugikan keuangan Negara.

Lalu bagaimana definisi korupsi di luar negeri, pada dasarnya pembentukan UU Tipikor di Indonesia mengadopsi perundang-undangan dari negara dan lembaga lain, contohnya world bank. Definisi menurut world bank adalah the abuse of public office for private gain atau penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Sementara menurut Transparency International, korupsi adalah “the abuse of entrusted power for private gain” atau penyahgunaan kekuasaan yang menguntungkan pribadi.

Membedah pengertian korupsi di Indonesia dan dua institusi luar negeri, hampir dipastikan korupsi adalah tindak pidana yang dilakukan aparatur negara yang menyalahgunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi. Jika ada badan hukum atau koorporasi yang sengaja/tidak sengaja melanggar aturan yang merugikan negara maka penerapan UU Tipikor tidak tepat karena bisa diselesaikan dengan cara perdata atau dikenakan sanksi administrasi.

Salah kaprah Jampidsus dalam menentukan yuridiksi cuma salah satu kasus saja, mungkin di luar sana masih banyak kasus-kasus yang dipaksakan hanya untuk mengejar keuntungan semata. Tentunya kita tidak mau perangkat konstitusi kita dijadikan alat untuk tujuan tertentu yang jelas bukan penegakan hukum. Terlebih lagi, UU Tipikor ini jangan dijadikan alat memeras pihak koorporasi yang bekerja sama dengan pemerintah karena adanya “abuse of power” dalam instansi penegak hukum kita. Untuk itu maka selayaknya definisi Tindak Pidana Korupsi dalam UU Tipikor ini ditinjau kembali dan disesuaikan dengan definisi Korupsi dari World Bank yang jauh lebih akurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun