Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Prihatin Kasus GI dan Pertanyaan Soal Iklim Investasi

11 Maret 2016   20:58 Diperbarui: 11 Maret 2016   21:03 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak tahu kompleks Bundaran Hotel Indonesia (HI)? Masyarakat Jakarta sepertinya sudah mengenal daerah jantung ibu kota ini karena kawasan ini kerap menjadi pusat kegiatan besar seperti perayaan tahun baru, car free day setiap minggu pagi, dan kawasan Bundarah HI juga digunakan para aktivis atau masyarakat dalam melakukan aksi dan menyampaikan aspirasinya.

[caption caption="sumber foto : Berita Jakarta"][/caption]Selain itu, baik warga Jakarta, turis lokal maupun mancanegara dimanjakan dengan pemandangan kemegahan gedung-gedung pencakar langit yang menjadi kebanggaan dan ikon Jakarta seperti menara BCA, Apartemen Kempinski, dan pusat perbelanjaan di kawasan Grand Indonesia (GI). Tak lupa gedung megah Plaza Indonesia, Apartemen the Kraton dan Hotel Mandarin yang legendaris itu. Kemegahan yang telah menjadi bagian dari kebanggaan warga Jakarta itu menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi, adanya pembangunan dan kemajuan.

Namun beberapa hari belakangan muncul sejumlah berita yang mengagetkan kita semua, yaitu isu bahwa ada beberapa bangunan di kawasan tersebut merupakan bangunan liar yang tidak sah ijin pembangunannya, dalam perjanjian PT Grand Indonesia dengan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) yang merupakan BUMN, terkait Built-Operate- Transfert (BOT), atau bangun-guna-serah.

Sebelumnya, Komisaris PT HIN Michael Umbas buka mulut ke media bahwa pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski sudah di luar perjanjian awal. Kasus ini pun ditangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah yang menilai pembangunan dua gedung tersebut terindikasi merugikan negara hingga 1,2 triliun.

Sebagai seorang akademisi, saya pun mencoba melakukan research kecil-kecilan terhadap kasus ini. Informasi yang saya dapat dari berbagai media online, PT GI bekerja sama dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) yang mendapat tender dari PT HIN pada 13 Mei 2004 dengan nilai investasi sebesar Rp 1,2 triliun. PT CKBI menunjuk PT GI sebagai pelaksana kerja dengan kontrak kerja selama 30 tahun dengan hak opsi perpanjangan selama 20 tahun.

Namun dalam kerja sama mereka, nilai investasi PT GI dalam membangun kawasan tersebut mencapai Rp 5,5 triliun. Saya pun melihat investasi yang dilakukan PT GI ini tergolong berhasil karena dalam kawasan itu dibangun pusat perbelanjaan dan perkantoran yang sedikit banyak berhasil menggerakan perekonomian. Ditambah lagi, keberadaan kawasan tersebut menyerap tenaga kerja dan mendukung program pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran.

Lalu apakah benar ada yang salah dalam pembangunan yang dilakukan PT GI? Berdasarkan kontrak kerja sama yang telah beredar di media sosial, PT HIN memperbolehkan PT GI untuk membangun gedung penunjang lainnya seperti pusat perbelanjaan, hotel, dan gedung lain sebagai fasilitas. Agak mengherankan apa motif PT HIN mempermasalahkan sesuatu yang mereka sendiri sebenarnya sudah mengerti duduk permasalahannya. Padahal, ketika kontrak berakhir tahun 2055, PT HIN akan mendapatkan keuntungan berlipat karena nilai BOT yang akan melesat tinggi.

Saya pun melihat PT HIN selaku BUMN bertentangan dengan program pemerintah yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi pada akhir tahun 2015 lalu. Dalam paket kebijakan tersebut menekankan bahwa pentingnya investasi di Indonesia yang bertujuan untuk membangkitkan ekonomi nasional, menyerap tenaga kerja, dan menyejahterakan masyarakat.

Terlepas motif PT HIN mempermasalahkan BOT ini, kita bisa melihat bahwa masih sulit bagi investor untuk berbisnis dengan kepastian hukum yang baik di Indonesia. Saya pun tidak bisa membayangkan jika banyak investor yang diperlakukan seperti PT GI ini maka Indonesia mendapat “label hitam” di mata para investor karena dinilai iklim investasi di negeri ini sudah tidak kondusif. BUMN kerap dijadikan sapi perah dari petualang-petualang politik oportunis. Hukum dipermainkan untuk kepentingan politik dan transaksi jual-beli perkara. Masih segar ingatan kita perihal Jaksa Agung yang bermanuver dalam soal mobile 8 yang mentarget Hary Tanoe, pengusaha nasional yang sekarang menjadi petinggi politik.

Kembali lagi pada kasus PT HIN dan PT GI, seharusnya Kejagung yang tengah melakukan penyelidikan agar transparan dan tidak menggiring opini sesat yang akhirnya merugikan salah satu pihak. Kawasan HI merupakan salah satu saksi sejarah bagaimana republik ini terbentuk, banyak masyarakat juga menikmati manfaat keberadaan kawasan itu. Oleh karena itu, diperlukan sikap yang bijak dan transparan dalam menangani kasus ini. Yang jelas, jangan gunakan hukum dan institusi negara, seperti BUMN apalagi Kejaksaan Agung, hanya untuk memuluskan motif tersembunyi para petualang-petualang politik yang membuat rusak dan runyam republik yang kita cintai ini. SaveIndonesia!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun