Mohon tunggu...
ubaidillah  zain
ubaidillah zain Mohon Tunggu... mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinamika Kepemimpinan dalam Lirik Lagu "Gundul-gundul Pacul"

5 April 2017   02:28 Diperbarui: 5 April 2017   11:00 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

           Pasti sudah tak asing lagi lagu gundul- gundul pacul di kalangan penduduk indonesia, khususnya daerah jawa. Banyak dari anak-anak maupun orang dewasa yang menyanyikan lagu ini untuk menghibur diri mereka, namun banyak dari mereka yang tak mengerti makna yang riil dari lirik lagu tersebut. Ternyata tanpa disadari oleh masyarakat, bahwa di dalam lirik lagu gundul- gundul pacul sendiri mengandung tentang dinamika dalam kepemimpinan, kenapa begitu?. Sebelum kita mengupas tuntas makna dari lirik lagu tersebut, kita harus mengetahui liriknya sebagai berikut:

Gundul gundul pacul-cul,gembelengan…Nyunggi nyunggi wakul-kul,gembelengan…

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar…

            Nah, jika kita lihat dari susunan bahasanya sudah terlihat bahwa dalam lagu atau tembang tersebut menggunakan bahasa jawa.yang mana tembang ini merupakan ciptaan dari sesosok wali yang bernama sunan kalijaga serta diciptakan semenjak kurang lebih pada tahun 1400 an. Kemudian kandungan nilai apa yang tercantum pada tembang atau lagu tersebut?. Menurut dari berbagai sumber yang ada, bahwa di dalam lirik tembang atau lagu itu tercantum tentang dinamika dalam kepemimpinan. Karena sebuah kepemimpinan setiap zamannya selalu memiliki dinamika (pergerakan) yang entah nantinya akan berdampak baik atau buruknya dalam kepemimpinan seorang pemimpin itu sendiri.

            Kata pertama ialah Gundul, diibaratkan sebagai kepala plonthos tanpa rambut yang mana kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang, sementara rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka jika kita simpulkan gundul memiliki arti kehormatan yang tanpa mahkota. Kata yang kedua ialah pacul ( cangkul ), merupakan lambang kawula rendah yang kebanyakan petani. Namun jika kita gabungkan dua kata tersebut akan memiliki arti yang berbeda lagi, yaitu : bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas), artinya bahwa kemuliaan seseorang akan sangat tergantung empat hal, yaitu : 1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat, 2. Telinga di gunakan untuk mendengar nasehat atau aspirasi dari rakyat, 3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian suatu kebaikan, 4. Mulut digunakan untuk menyampaikan hal- hal baik serta adil di dalamnya, tetapi jika ke empat hal itu lepas, maka akan hilang pula kehormatan sesosok pemimpin.

            Selanjutnya adalah kata gembelengan yang diartikan besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Inilah suatu dinamika yang paling tidak diharapkan oleh siapapun, namun pada kenyataannya di negara kita saat ini banyak dari pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah yang memiliki ciri sifat gembelengan, yang mana mereka lupa bahwa sebenarnya mereka telah mengemban amanah rakyat. Namun kebanyakan dari mereka malah menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya, kedudukannya untuk berbangga-bangga di antara manusia, serta menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.

            Kemudian kata Nyunggi wakul,  artinya membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul dikepalanya. Wakul disini juga merupakan suatu  simbol kesejahteraan rakyat,  kekayaan negara, sumberdaya, Pajak adalah isinya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat dan kedudukannya di bawah bakul rakyat. Maka lebih tinggi mana kedudukannya antara pembawa bakul atau pemilik bakul ?, nah pasti saja si pemilik bakul, karena pemilik bakul ini di ibaratkan sosok presiden yang mana mengatur jalannya roda pemerintahan di negara indonesia ini, sementara pembawa bakul hanyalah pembantu si pemiliknya, jadi bisa kita ibaratkan sosok menteri- menteri yang memiliki tugas di bawah arahan seorang pemimpin negara yaitu presiden. Namun tidak semudah itu untuk mempertahankan kepemimpinan kita tetap baik, karena harus ada komitmen yang kuat bahwa sosok pemimpin merupakan seorang pelayan bagi anggotanya atau rakyatnya.

            Tetapi jika seorang pemimpin dan anggotanya tidak menjaga komitmennya maka dia akan menjadi sosok pemimpin yang gembelengan ( melenggak- lenggokkan kepala dengan sombong dan bermain-main), dan nantinya akan menyebabkan wakul yang dibawa akan ngglimpang ( jatuh) yang berisi nasi dan nasinya tumpah ke mana- mana. Hal tadi bisa kita ibaratkan, jika pemimpin negara tidak mampu menjaga komitmennya, maka amanah rakyat yang di dalamnya ada harapan menjadi lebih baik pun akan lenyap di makan oleh kepentingan- kepentingan pribadi seorang pemimpin, yang dampaknya nanti akan menimbulkan kesenjangan dimana- mana, maka gagal lah tugas yang di jalankan oleh pemimpin negara.

            Maka dari itu, marilah kita membangun bangsa dengan komitmen yang kuat, serta bertanggung jawab atas amanah rakyat. Maka tetap lah ingat sebuah peribahasa yang mengungkapkan jadilah seperti padi, semakin dia berisi maka dia akan merunduk. Itu lah yang harus benar- benar di tanamkan mulai dini kepada para calon- calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang bisa menjadi lebih baik lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun