Islam mendeklarasikan dengan tegas bahwa tujuan hakiki dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah, mengabdi kepada Sang Pencipta (QS. Al-Dzariyat [51]: 56). Oleh karenanya, manusia sejati adalah mereka yang berstatus sebagai hamba yang ahli ibadah. Ibadah merupakan ungkapan dari melaksanakan dengan sungguh-sungguh segala perbuatan yang diperintahkan oleh syariat.Â
Dalam ungkapan lain, melaksanakan segala apa yang harus dilakukan (al-fi'lul mathlub). Istilah al-fi'lul mathlub sebenarnya sudah mewakili dan mencakup segala sesuatu yang dilarang, karena larangan juga merupakan bentuk perbuatan untuk menghindari (al-kaffu). Dalam teori ushul fikih dikenal kaidah, la taklifa illa bi fi'lin (tidak ada pembebanan hukum selain berbentuk perbuatan).
Setidaknya terdapat tiga istilah yang perlu dipahami terkait dengan ibadah, yaitu takwa, ibadah dan taat. Takwa sering didefinisikan dengan memelihara diri dari segala sesuatu yang mengundang kemurkaan Allah dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah adalah pengabdian dengan menyerahkan diri kepada kehendak dan ketentuan Allah dalam rangka memperoleh ridla-Nya. Sedangkan taat merupakan ketundukan total terhadap peraturan yang ditetapkan oleh syariat.
Korelasi ketiga istilah tersebut dapat digambarkan bahwa takwa merupakan konsep tertinggi, yakni memelihara diri dari kemurkaan Sang Pencipta. Sementara ibadah merupakan bentuk aplikatif dari takwa.Â
Seorang hamba yang bertakwa pada tataran praktiknya akan memelihara ibadah dengan sungguh-sungguh, baik ibadah formal (mahdlah) maupun non formal (ghairu mahdlah). Sedangkan taat merupakan unsur yang harus ada dalam ibadah. Dalam pengabdian (ibadah) harus ada unsur ketundukan (taat) yang dilandasi rasa cinta untuk selalu melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
Berkenaan dengan ibadah, Al-Ghazali menyoroti dari dua aspek. Pertama, dari satu sisi ibadah merupakan sebuah capaian keberhasilan seorang hamba. Pada taraf ini ibadah merupakan buah dari ilmu. Ilmu sangat menentukan kualitas ibadah seseorang. Ilmu menjadi pondasi primer dalam beribadah.
 Beribadah tanpa didasari keilmuan yang memadai justru menjadi perbuatan yang sia-sia, alih-alih berpahala, terkadang malah menyesatkan. Dengan demikian, ilmu ibarat pohon, sementara ibadah adalah buah. Buah tidak akan ada tanpa ada pohon. Seorang hamba akan mencapai keberhasilan dalam ibadah jika tahu dan mengerti ilmunya.
Ibadah menjadi tolok ukur kemanfaatan usia seseorang. Usia yang bermanfaat adalah usia yang diisi dengan aktifitas yang penuh dengan pengabdian kepada Sang Khalik. Sebaliknya, umur yang kosong dari ibadah tidak akan mencapai faidah dan kemanfaatan, justru mendatangkan kerugian dunia akhirat. Ibadah merupakan capaian seorang hamba yang memiliki keinginan kuat menuju dan mencari ridla ilahi. Ibadah juga menjadi barang komoditi para kekasih Allah untuk melakukan 'transaksi' perniagaan dengan-Nya, menjadi indikator orang-orang mulia, tujuan orang yang mempunyai cita-cita meraih derajat yang tinggi.
Kedua, di sisi yang lain ibadah menjadi sarana meraih kebahagiaan abadi dengan meninggalkan dunia dalam keadaan membawa keimanan, sehingga menjadi jalan yang mengantarkan seseorang menuju surga.Â
Melalui perenungan dan pemikiran mendalam tentang permulaan yang mendasar hingga tujuan puncak dari ibadah Al-Ghazali menemukan sebuah kesimpulan bahwa ibadah merupakan lintasan jalan yang terjal dan sulit. Sarat dengan rintangan, sebuah perjalanan panjang, penuh resiko, banyak musuhnya, jarang pengikutnya, penuh dengan aral dan penghalang. Memang begitulah faktanya.