Mohon tunggu...
Zainol Huda
Zainol Huda Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ushul Fikih dan Fikih Muamalah STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep Jawa Timur

Alumnus Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo Jawa Timur, lembaga yang didirikan oleh KHR. As'ad Syamsul Arifin Situbondo.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Al-Ghazali: Jalan Terjal Pengabdian Hamba

6 Oktober 2020   23:23 Diperbarui: 6 Oktober 2020   23:31 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Islam mendeklarasikan dengan tegas bahwa tujuan hakiki dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah, mengabdi kepada Sang Pencipta (QS. Al-Dzariyat [51]: 56). Oleh karenanya, manusia sejati adalah mereka yang berstatus sebagai hamba yang ahli ibadah. Ibadah merupakan ungkapan dari melaksanakan dengan sungguh-sungguh segala perbuatan yang diperintahkan oleh syariat. 

Dalam ungkapan lain, melaksanakan segala apa yang harus dilakukan (al-fi'lul mathlub). Istilah al-fi'lul mathlub sebenarnya sudah mewakili dan mencakup segala sesuatu yang dilarang, karena larangan juga merupakan bentuk perbuatan untuk menghindari (al-kaffu). Dalam teori ushul fikih dikenal kaidah, la taklifa illa bi fi'lin (tidak ada pembebanan hukum selain berbentuk perbuatan).

Setidaknya terdapat tiga istilah yang perlu dipahami terkait dengan ibadah, yaitu takwa, ibadah dan taat. Takwa sering didefinisikan dengan memelihara diri dari segala sesuatu yang mengundang kemurkaan Allah dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah adalah pengabdian dengan menyerahkan diri kepada kehendak dan ketentuan Allah dalam rangka memperoleh ridla-Nya. Sedangkan taat merupakan ketundukan total terhadap peraturan yang ditetapkan oleh syariat.

Korelasi ketiga istilah tersebut dapat digambarkan bahwa takwa merupakan konsep tertinggi, yakni memelihara diri dari kemurkaan Sang Pencipta. Sementara ibadah merupakan bentuk aplikatif dari takwa. 

Seorang hamba yang bertakwa pada tataran praktiknya akan memelihara ibadah dengan sungguh-sungguh, baik ibadah formal (mahdlah) maupun non formal (ghairu mahdlah). Sedangkan taat merupakan unsur yang harus ada dalam ibadah. Dalam pengabdian (ibadah) harus ada unsur ketundukan (taat) yang dilandasi rasa cinta untuk selalu melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

Berkenaan dengan ibadah, Al-Ghazali menyoroti dari dua aspek. Pertama, dari satu sisi ibadah merupakan sebuah capaian keberhasilan seorang hamba. Pada taraf ini ibadah merupakan buah dari ilmu. Ilmu sangat menentukan kualitas ibadah seseorang. Ilmu menjadi pondasi primer dalam beribadah.

 Beribadah tanpa didasari keilmuan yang memadai justru menjadi perbuatan yang sia-sia, alih-alih berpahala, terkadang malah menyesatkan. Dengan demikian, ilmu ibarat pohon, sementara ibadah adalah buah. Buah tidak akan ada tanpa ada pohon. Seorang hamba akan mencapai keberhasilan dalam ibadah jika tahu dan mengerti ilmunya.

Ibadah menjadi tolok ukur kemanfaatan usia seseorang. Usia yang bermanfaat adalah usia yang diisi dengan aktifitas yang penuh dengan pengabdian kepada Sang Khalik. Sebaliknya, umur yang kosong dari ibadah tidak akan mencapai faidah dan kemanfaatan, justru mendatangkan kerugian dunia akhirat. Ibadah merupakan capaian seorang hamba yang memiliki keinginan kuat menuju dan mencari ridla ilahi. Ibadah juga menjadi barang komoditi para kekasih Allah untuk melakukan 'transaksi' perniagaan dengan-Nya, menjadi indikator orang-orang mulia, tujuan orang yang mempunyai cita-cita meraih derajat yang tinggi.

Kedua, di sisi yang lain ibadah menjadi sarana meraih kebahagiaan abadi dengan meninggalkan dunia dalam keadaan membawa keimanan, sehingga menjadi jalan yang mengantarkan seseorang menuju surga. 

Melalui perenungan dan pemikiran mendalam tentang permulaan yang mendasar hingga tujuan puncak dari ibadah Al-Ghazali menemukan sebuah kesimpulan bahwa ibadah merupakan lintasan jalan yang terjal dan sulit. Sarat dengan rintangan, sebuah perjalanan panjang, penuh resiko, banyak musuhnya, jarang pengikutnya, penuh dengan aral dan penghalang. Memang begitulah faktanya.

Sementara seorang hamba yang hendak menempuh jalan terjal tersebut sangatlah lemah, penuh kesibukan, sedikit kesempatan, penuh keterbatasan usia, selalu lengah, padahal tingkatan derajat dalam agama rawan turun dan kembali dari awal. 

Seorang hamba yang sudah mencapai tangga kelima mislanya, jika tidak mampu mempertahankan dan tersandung aral rintangan, maka akan kembali turun menapaki tangga pertam, kedua, dan seterusnya. Kondisi ini akan cenderung berulang-ulang. Gambaran inilah yang disebutkan dalam hadis Nabi bahwa surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci, sedangkan neraka diliputi dengan hal-hal yang disenangi. Hal-hal yang dibenci adalah jalan terjal ketundukan dan ketaatan dalam beribadah. Hal-hal yang disenangi adalah keinginan-keinginan syahwat.

Oleh karena itu, memilih jalan mengabdi dengan menyibukkan diri terhadap urusan akhirat serta berpaling terhadap urusan dunia merupakan pilihan yang sulit dan penuh resiko. Sangat jarang orang yang berkeinginan menempuh jalan ini. 

Dari sekian orang yang berkeinginan (qashidin) jarang sekali yang mau menjalankan menjadi sebuah laku (salikin). Di antara mereka yang tergolong salikin jarang sekali yang mampu mencapai puncak tujuan, yakni dekat dengan Sang Pencipta. Hamba yang mampu mencapai puncak tujuan adalah orang-orang pilihan yang mendapatkan perlindungan dan taufik-Nya, merekalah orang-orang yang beruntung menggapai rahmat-Nya.

Melihat jalan yang begitu terjal dan penuh resiko Al-Ghazali mencoba menawarkan sebuah konsep bagaimana upaya mengatasi berbagai rintangan dan penghalang yang siap menghadang slaikin. Segala persiapan dan bekal serta strategi yang harus dimiliki seorang hamba (salik) berupa ilmu dan laku amal yang mesti ditempuh. 

Upaya Al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karangan seperti Ihya' Ulumiddin, Mi'raj al-Salikin, Al-Qisthas al-Mustaqim, Kimiya' al-Sa'adah, Misykat al-Anwar. Karangan tersebut berisi tentang ilmu-ilmu yang sulit dipahami oleh orang awam. Ibarat Al-Qur'an yang dianggap dongeng orang-orang terdahulu oleh kafir Quraisy.

Bukankah Zainal Abidin bin Husain bin Ali pernah berkata, "sesungguhnya aku menyimpan beberapa ilmu-ilmu rahasia untuk menghindari terjadinya fitnah dari orang-orang bodoh. Banyak sekali ilmu-ilmu rahasia yang tidak aku ungkapkan, andai saja aku ungkapkan, maka orang-orang akan menuduhku bahwa aku penyembah berhala, bahkan orang-orang muslim menghalalkan darahku seperti yang menimpa Sayyidina Hasan." [bersambung...]  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun