Mohon tunggu...
Zainol Huda
Zainol Huda Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ushul Fikih dan Fikih Muamalah STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep Jawa Timur

Alumnus Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo Jawa Timur, lembaga yang didirikan oleh KHR. As'ad Syamsul Arifin Situbondo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Air Suci dan Mensucikan: Sekelumit Kajian Epistemologi

11 September 2020   08:32 Diperbarui: 11 September 2020   08:26 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara logika, jika sesuatu (air) mampu mensucikan benda lain di luar dirinya, tentu tidak mungkin dirinya sendiri bersifat tidak suci (ghairu thahir). Dari sinilah lalu disimpulkan bahwa pada dasarnya air itu bersifat suci dalam dirinya dan dapat mensucikan benda di luar dirinya yang dikenal dengan istilah thahir muthahhir. Kemudian terdapat dua ayat yang secara khusus berbicara soal penggunaan air dalam bersuci, yaitu surat al-Nisa' [4] ayat 43 dan surat al-Maidah [5] ayat 6. Dua ayat ini semakin menegaskan bahwa air menjadi hal yang mendasar sebagai alat untuk bersuci, baik dari hadas ataupun najis.

Dua ayat di atas tentang kesucian air hujan memberi kesan bahwa Al-Qur'an hanya berbicara secara khusus tentang air yang turun dari langit. Lalu bagaimana dengan air yang berada di bumi, semisal air sungai, air sumur, sumber mata air? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat didekati melalui dua metode. Pertama, melalui pendekatan hirarki dalil yang terdapat dalam sumber-sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam). Deretan sumber-sumber hukum Islam yang telah disepakati kehujahannya ada empat: Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' ulama, dan Qiyas. Dalam arti, ketika suatu permasalahan tidak dijumpai dalam Al-Qur'an maka beralih kepada urutan berikutnya, yakni Sunnah Nabi.

Tentang kesucian air bumi dan keabsahannya untuk dijadikan alat bersuci terdapat dalam penjelasan hadis Nabi. Ketika ditanya tentang laut, Nabi menjawab: "laut itu airnya suci mensucikan (thahur), dan bangkai (hewan) laut halal". Selain itu, Nabi juga pernah berwudlu' menggunakan air sumur Bidla'ah (nama seseorang, sebagian yang lain mengatakan ini nama sebuah tempat yang terdapat pohon kurma). Dua hadis ini cukup mewakili tentang kesucian air yang ada di muka bumi. (Abu Ishaq al-Syirazi, Al-Muhadzab, Jilid I, hal. 2).

Kedua, melalui pendekatan kajian ilmu alam yang sebenarnya juga diinspirasi oleh Al-Qur'an. Pada hakikatnya, air yang ada di muka bumi juga berasal dari air yang turun dari langit. Menurut teori alam, sumber-sumber mata air yang ada di bumi merupakan hasil serapan akar pepohonan yang mampu menahan air dalam waktu yang lama. Mengenai sumber-sumber di bumi yang berasal dari air langit Al-Qur'an mengatakan:

"Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal." (QS. Az-Zumar [39]: 21).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

"Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya." (QS. Al-Mu'minun [23]: 18).

Dengan demikian, sebenarnya Al-Qur'an tidak hendak mengkhususkan air hujan saja yang mempunyai sifat suci dan mensucikan, akan tetapi secara tidak langung juga mencakup air yang ada di muka bumi. Karena air yang terdapat di muka bumi hakikatnya berasal dari langit. Oleh karena itu, para pakar fikih (fuqaha') memberikan statemen tentang air yang absah digunakan untuk bersuci bahwa segala jenis air yang turun dari langit, dan segala jenis air yang bersumber dari perut bumi (ma nazala min al-sma' aw naba'a min al-ardli). Statemen yang merupakan hasil kajian terhadap sumber-sumber primer kemudian diungkapkan dalam istilah fikih menjadi air murni (al-ma' al-muthlaq), yaitu air yang sesuai dengan keadaan asalnya, tanpa bercampur sesuatu apapun.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun