Mohon tunggu...
Zain Ananta
Zain Ananta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa institut agama islam darussalam

Anggota ukm himpora iaid

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Pembentukan Madzahab dalam Hukum Islam

20 Juni 2023   01:54 Diperbarui: 20 Juni 2023   02:11 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Periode pemerintahan Harun Ar-Rasyid juga dikenal sebagai periode pembukuan dan munculnya para imam mujtahid. Ini disebut demikian karena pada saat ini terjadi gerakan penulisan dan pembukuan yang berkaitan dengan tafsir Al-Quran, Sunnah Nabi, fatwa sahabat, tabi'in dan tabi'in al-tabi'in, fiqih para imam mujtahid, dan ilmu ushul fiqih.  Selama periode ini, pula muncul tokoh-tokoh yang sangat penting dalam pembentukan undang-undang dan mengistinbathkan hukum-hukum untuk peristiwa dan masalah yang mungkin muncul (fiqih iftiradhi).

Dalam bahasa Indonesia, fiqih ini disebut fiqih pengandaian.  Ini terjadi karena ulama-ulama di masa itu memiliki banyak kebebasan berpikir, yang memungkinkan mereka untuk membahas masalah yang belum pernah terjadi dengan bebas.

Periode ini berlangsung dari pertengahan abad kedua Hijriyah hingga pertengahan abad keempat Hijriyah, atau tahun 101 Hijriyah-350 Hijriyah (720 M-961 M). Periode ini bertepatan dengan periode kemajuan Islam I (700 M-1000 M). Pada periode ini, pemerintahan Islam mengalami banyak kemajuan, terutama di bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan pemikiran.Di masa ini, umat Islam juga berusaha agar setiap aspek kehidupan mereka sesuai dengan syariat Islam. Akibatnya, para mujtahid berasal dari golongan penguasa dan masyarakat bawah. 

Sebagian besar umat Islam menggunakan para mujtahid ini sebagai tempat bertanya, sehingga hasil ijtihad mereka berkembang dan metode pengambilan hukum yang berbeda dari tiap-tiap mereka muncul. Hal ini dilakukan oleh Abu Hanifah dan kawan-kawannya, serta para imam madzhab lain di masa mereka. Dalam fiqih, metode inilah yang membentuk madzhab-madzhab.


Fuqaha dan para mujtahid yang terkenal pada masa ini adalah sebagai berikut:
1. Sufyan bin Uyainah di Mekah
2. Malik bin Anas di Madinah
3. Al-Hasan Al-Bashri di Bashrah
4. Abu Hanifah di Kufah
5. Sufyan Ats-Tsaury di Kufah
6. Al-Auza' di Syam
7. Asy-Syafi'i di Mesir
8. Al-Laits bin Sa'ad di Mesir
9. Ishaq bin Ruhawaih di Naisabur.
10. Abu Tsaur di Baghdad
11. Ahmad bin Hambal di Baghdad
12. Dawud Azh-Zhahiry di Baghdad
13. Ibnu Jarit Ath-Thabary di Baghdad.

Mereka kemudian disebut sebagai imam madzhab. Inilah madzhab fiqih yang dikenal di kalangan Sunni. Selain itu, ada beberapa madzhab yang dikenal sebagai bagian dari komunitas Syi'ah, seperti madzhab Zaidiyah, madzhab Imamiyah, madzhab Ismailiyah, dan madzhab Ibadhiyah. Ibrahim Ad-Dasuqy mengatakan bahwa pada saat ini terdapat 18 madzhab. Sebagian di antaranya masih ada dan terus berkembang sampai saat ini, seperti madzhab Hanafi dan Zhahiry.  Selain itu, madzhab lain, seperti Amir Asy-Sya'by, Auza'i Laitsi, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ath-Thabary, tidak lagi ada pengikut bagi  mereka.

Masing-masing mazhab biasanya memiliki karakteristik unik. Itu karena para pembinanya tidak sependapat tentang penggalian hukum. Walau bagaimanapun, perbedaan itu hanya terbatas pada masalah furu', bukan prinsipil atau pokok syariat. Mereka setuju bahwa Al-Quran dan Sunnah Nabi adalah semua  sumber syariat, dan setiap hukum yang bertentangan dengan kedua sumber tersebut harus ditolak dan tidak boleh diamalkan. Selain itu, mereka menghormati satu sama lain selama masing-masing orang berbicara sesuai dengan aturan syariat Islam.  

Ijma' dan qiyas adalah sumber tasyri saat ini, selain Al-Quran dan As-Sunnah. Selain itu, beberapa pendekatan untuk istinbath hukum muncul, seperti istidlal, isthsan, istishab, fatwa sahabat, urf, mashalih almursalah, saddu adz-dzari'ah, dan syariat sebelum Islam. Pada periode ini juga, fatwa, atau fiqih para imam madzhab, dan hadis telah dibukukan. Menurut Adz-Dzahabi (1274 M-1384 M) dalam Duwal Al-Islam, kitab As-Sunnan fi Al-Fiqh dan Al-Masa'il fi Al-Fiqh dari Auza'i, Al-Muwaththa' dari Malik, Al-Jami' dari Sufyan Ats- Tsaury, dan banyak lagi dibukukan pada zaman ini.Pada zaman ini pula muncul kitab hadis yang enam, yang dikarang oleh Al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Abu Daud (w. 275 H), At Tirmidzi (w. 279 H), Ibnu majah (w. 273 H), dan An-Nasa'i ( 303 H)."

Produk pemikiran yang berbeda antara mazhab fiqh dipengaruhi dua faktor, yaitu faktor lingkungan ulama mazhab dan model yang ditempuh oleh ulama mazhab dalam mengistinbatkan hukum.
1. Faktor Lingkungan
Dari tinjauan historis pada periode tabiin ini, muncul pembagian tiga geografis yang cukup besar dalam sejarah keilmuan Islam. Ketiga geografis tersebut adalah Hijaz, Syria, dan Irak. Di Hijaz terdapat dua pusat kajian keilmuan, yaitu Mekah dan Madinah, sedangkan di Irak adalah Kuffah dan Basrah. Corak ulama Hijaz dan ulama Kuffah dalam berijtihad memiliki metode masing-masing dalam menggali hukum Islam. Hal ini karena beberapa faktor yang memengaruhinya, yakni sebagai berikut.
a. Ulama Hijaz dikenal dengan ahlu al-hadits yang sifatnya membatasi diri dengan nash yang ada di Hijaz, sementara ulama Irak dikenal dengan ahlul ar-rayu yang lebih mengarahkan pada maksud dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum karena mereka beranggapan bahwa hukum syara' dapat dimengerti maksudnya dan dapat mewujudkan kemaslahatan umat.
b. Irak merupakan wilayah yang dikuasai Persia dan Romawi sebelum Islam. Pengaruh ini melekat pada masyarakat Irak dan memiliki hubungan keperdataan lebih luas yang memerlukan lapangan ijtihad lebih luas, sementara di Hijaz hampir sulit menemukan sesuatu yang tidak terdapat dalam hadis Nabi SAW. sehingga terbiasa memahami zahir nash tanpa perlu mencari illat atau sebab lain dalam menetapkan hukum.
c. Pusat pemalsuan hadis nabi terdapat di Irak karena kepentingan politik. Oleh karena itu, ulama Irak sangat selektif dalam menerima periwayatan hadis, bahkan lebih cenderung meninggalkan hadis dan menggunakan akal jika dianggap sesuai dengan tujuan syara'.

Madzhab Hanafiah adalah madzhab pertama di Irak yang cenderung mengutamakan akal (rasio) dalam berijtihad, sedangkan madzhab Maliki merupakan madzhab pertama yang mengutamakan hadis nabi sebagai metode ijtihad dibandingkan dengan ra'yu.

Dalam tulisan sebagian ulama disebutkan bahwa mayoritas ahli hadis berada di negeri Hijaz sedang ahlur-ra'yi (pemakai ra'yu) kebanyakan berada di negeri Irak. Mengapa bisa demikian? Karena ahli fiqih Madinah menuduh ahli fiqih Irak jauh dari sunnah dan berfatwa dengan pendapatnya, namun ahli fiqih Irak membantahnya.

Sebenarnya, baik ra'yu maupun hadis ada di Irak, sebagaimana di Madinah juga ada ra'yu dan hadis. Namun keduanya beda dalam dua hal: (1) porsi ra'yu (pendapat) bagi ulama Irak lebih banyak dibanding di Madinah. (2) metode ijtihad dengan ra'yu bagi ulama Irak kebanyakan menempuh metode qiyas (analogi). Sedang bagi ulama Hijaz, dalam menggunakan rayu menempuh cara maslahsat. Akibatnya di Irak muncul cabang-cabang masalah fiqih dan fatwa untuk masalah-masalah yang belum terjadi. Inilah yang disebut dengan "fiqih taqdiri." Warna ini tidak ditemukan di Madinah, karena dasarnya adalah "maslahat." Hal itu tidak ada kecuali jika kasus itu benar-benar terjadi.

2. Faktor Perbedaan Pendapat dalam Menetapkan Metode Istinbath sebagai Sumber Hukum.
Seluruh ulama mazhab sepakat bahwa Al-Quran secara umum merupakan sumber hukum Islam. Begitu pula, dengan hadis Nabi, tetapi pada sisi lain, mereka berbeda persepsi pada penggunaan akal pikiran ra'yu sebagai sumber hukum sehingga memunculkan banyak variasi tentang penggunaan hukum sebagai metode istinbath hukum, misalnya ijma, qiyas, istihsan, mashlahah al-mursalah, (istishalah) urf, dan sebagainya.

Pada sisi lain, sekalipun mereka sepakat kedudukan Al-Quran dan hadis sebagai sumber hukum, dari aspek pemahaman terhadap nash Al-Quran dan hadis, mereka berbeda pendapat Hal ini karena dalam Al-Quran dan hadis terdapat susunan kata yang kadang-kadang mendatangkan lafazh yang bermacam- macam maknanya.

Hadis-hadis Nabi sebagai sumber hukum kedua diriwayatkan dengan cara variatif, yang kadang-kadang menyebabkan para ulama mazhab menggunakan hadis sebagai sumber hukum dan menerimanya dengan sangat selektif, sementara ada juga ulama mazhab lain menerima hadis tanpa seleksi yang ketat, baik dari aspek sahih, hasan, maupun dhaifnya hadis dari segi kualitas hadis. Ada yang hanya menerima hadis mutawatir tanpa hadis ahad. Ada pula yang menerima hadis dari aspek kuantitas secara keseluruhan.

Dalam analisis Qadri Azizy, pembentukan madzhab-madzhab fiqih tidak terlepaskan dari madzhab besar atau imam sebelumnya.

Perkembangan selanjutnya, proses bermadzhab tidak lagi mempersoalkan daerah, kota, atau tempat tinggal, tetapi lebih menekankan pada aspek personal (nama seseorang). Oleh karena itu, secara alamiah, madzhab fiqih identik dengan nama seseorang.Dalam membahas proses bermadzhab, Qodri Azizy mengatakan,

"Dalam perjalanan sejarahnya, madzhab klasik Irak hanya bertahan atau mengkristal di kalangan pengikut Imam Abu Hanifah, dan madzhab klasik Hijaz hanya bertahan atau mengkristal di kalangan pengikut Imam Malik... dalam proses transformasi madzhab klasik menjadi madzhab 'personal' (berdasarkan nama perseorangan) dan ini mulai terjadi pada abad kedua dan menjadi sempurna pada abad ketiga

Secara alami, ada madzhab yang masih ada dan ada yang punah. Dalam analisis Cik Hasan Bisri, penulis menyatakan secara lengkap bahwa: "Pertama, dalam komunitas Sunni terdapat tiga belas madzhab, di antaranya empat madzhab masih berkembang (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Kedua, dalam komunitas Syi'-i terdapat empat madzhab, di antaranya tiga madzhab masih berkembang (Ja'fari [Imami], Zaidi, dan Isma'ili).

Oleh karena itu, informasi di atas menunjukkan bahwa pembentukan madzhab tidak hanya didasarkan pada daerah, kota, atau tempat tinggal, tetapi juga pada nama perseorangan dari masing-masing madzhab. Selain itu, madzhab-madzhab itu tidak melemah atau menghilang dengan sendirinya; sebaliknya, mereka telah diuji, diverifikasi, dan diterapkan selama sekitar enam ratus tahun. Dengan kata lain, keempat madzhab -Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali- lulus melewati proses pemeriksaan tersebut.

Perkembangan berbagai madzhab juga mendapat dukungan dan pengaruh dari kekuasaan politik, selain didukung oleh fuqaha dan para pengikut mereka. Sebaran madzhab dapat dilihat dari beberapa negara, seperti Madzhab Syafi'i di Mesir, Irak, Bagdad, Syam, Yaman pemerinta hingga Brunei, Madzhab Hanbali di Arab Saudi dan Bagdad, Madzhab seperti da Hanafi di Kufah, Irak, Khurasan, dan Turki, Madthab Maliki di Hija, Madzhat Basrah, Mesir, dan beberapa daerah di Afrika, Andalusia, dan Maroko, amping dan Madzhab Ja'fari di Iran.

Endnote:
[1]Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA


[2]Dr. Siah Khosyi'ah, M.Ag., Fiqh Muamalah Perbandingan, Bandung: CV PUSTAKA SETIA


[3]Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah, FIQH ISLAM Madzhab dan Aliran, Tanggerang Selatan: Gaya Media Pratama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun