Karena keterbelakangan ekonomi, saya semasa kecil sering makan siso yang saya pungut langsung di persawahan dekat rumah. Atau bapak saya --kini sudah almarhum-- yang mencarikannya jika tidak pergi kerja lantaran hujan yang tiada henti. Pekerjaan bapak saya tukang kayu, kalau hujan pasti tak bekerja.
Siso ini adalah nama Makassar dari keong sawah. Herbivora bergenre moluska ini kalau di pulau Jawa populer dengan sebutan tutut.
Hanya siso yang bisa jadi pelengkap makan siang hingga makan malam keluarga kami di saat musim penghujan berkepanjangan. Jika beruntung diselingi dengan juku' kanjilo (ikan gabus) hasil dari keahlian memancing bapak saya. Dulu, memancing ikan gabus sangat populer di kampung saya sebelum padi berbuah dan persawahan masih dipenuhi air. Annendeng istilah Makassarnya. Tak sembarang orang bisa annendeng. Ia harus punya keahlian. Sebab, pancingnya saja terbuat dari bulo (bambu) karisa' yang panjang hingga 10 meter, bahkan lebih. Umpannya katak sawah.
Lain annendeng, lain juga ammekang. Kalau Annendeng targetnya juku kanjilo, kadang-kadang juku samelang (lele sawah) yang siripnya tajam bagai duri, ammekang (memancing) sasarannya ikan kecil-kecil seperti juku bala balang atau juku cambang-cambang yang pemalas itu.
Siso, selalu dibawa bapak saya kalau pulang annendeng. Ibu saya memasaknya dengan bumbu sederhana seperti garam, bawang merah ditumbuk, sedikit merica, serei batang dan daun jeruk bali yang masih muda. Setelah itu di sajikan di balla-balla (balai-balai bambu) bersama nasi yang masih a'rumbu-rumbu (panas).
Siso disajikan dengan cangkangnya dan dinikmati dengan cara menghisap, Â atau menjepitnya di antara ibu jari dan telunjuk, lalu kedua tangan dipukul-pukulkan, agar daging siso terlontar keluar dari cangkangnya.
Begitu nikmat rasanya.
Jika kemudian siso atau keong menjadi populer, itu lantaran derajatnya terdongkrak. Setara daging sapi yang harganya masih berkutat di atas Rp. 100.000 per kilo.
Saya tersenyum riang, bisa kembali ke masa kanak-kanak.
Makassar, 5 Desember 2019