Saya berada di Plaza Indonesia tiga tahun yang lalu, ketika itu selepas makan siang. Mondar-mandir di lantai basement yang kebanyakan ditempati kuliner, telah menjadi hal biasa bertahun-tahun saya lakoni sebelumnya.
Begitu lewat di depan Rempah Kita --kini sudah tak ada di situ, Â ada yang menarik perhatian saya. Di pintu masuk resto yang sering saya tempati makan siang itu, nampak seorang pelukis duduk sembari sibuk dengan pisau lukis dan akrilik, menuntaskan lukisan bertema Labuan Bajo.
Di belakangnya, ada belasan orang menyaksikannya, termasuk saya. Juga orang yang telah memesan lukisan tersebut. "Langsung jadi, Mas. Ditunggu. Sejam selesai," kata orang itu.
Eh, Labuan Bajo sudah rampung.
Saya langsung pasang gaya di dekat pelukisnya. Klik, klik! Swafoto pun tuntas. Saya langsung bertanya, "berapa satu?"
Pelukis itu menjawab, "tujuh belas setengah."
"Rp. 1.750.000?"
"Tujuh belas juta lima ratus rupiah. Bersama bingkainya."
Saya bersikap tenang.
"Biasanya empat puluh juta satu lukisan. Tiga lukisan yang saya kerjakan ini sejak jam sebelas tadi, sudah dipesan sama orang yang tadi itu."
"Ohh..." hanya itu tanggapan saya. Selanjutnya saya berbincang dengan seorang wanita paruh baya, mungkin asistennya, manajernya, atau temannya. Lama juga kami ngobrol. Sesekali pelukis itu menyela.
Begitu saya duduk di Yakun Kaya Toast, saya langsung Googling. Separagraf tentang pelukis beraliran impresionisme ini langsung saya copas. Begini :
Saat menggoreskan ide, Bayu Wardhana tidak hanya menggunakan imajinasi. Ia bahkan turun langsung ke obyek yang akan dia lukis. Dalam seni rupa, gaya ini dikenal dengan sebutan on the spot. Adalah gaya di mana seorang perupa turun ke lapangan, ia tangkap suasana yang ada, untuk kemudian diguratkan di kain putih bernama kanvas.
Sesungguhnya, sejak kecil saya juga bercita-cita jadi pelukis.
ZT -Batulicin, 30 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H