Rencananya cuma saya, isteri saya dan ibu saya yang akan mendaftar jamaah haji pada tahun 1999, untuk pemberangkatan tahun berikutnya. Ada tabungan saya sekitar tujuh belas juta rupiah, saya pikir cukuplah untuk pembayaran pertama ONH untuk tiga orang.Â
Dulu itu belumlah separah daftar tunggu kayak sekarang. Kuota haji masih melimpah-limpah. Tidak kayak sekarang, ONH Plus saja yang ratusan juta itu bertahun-tahun setelah mendaftar, belum tentu kita bisa berangkat. Apalagi ONH biasa yang dimenej pemerintah, bisa sepuluh tahun baru bisa berangkat ke tanah suci.
Mendaftarnya di Haji Sanre, pembimbing jamaah haji di Sungguminasa yang sangat terpercaya. Beliau Imam besar Masjid Agung Syech Yusuf. Beliau pejabat di Pemkab Gowa.Â
Dan, beliau keluarga kami. Setiap tahun nyaris separuh calon haji asal kabupaten Gowa yang jadi jamaahnya. Syaratnya cuma bawa KTP dan uang lima juta rupiah, Insha Allah berangkat.Â
Selanjutnya Haji Sanre yang urus semuanya, termasuk menyetor biaya pendaftaran tersebut ke bank yang ditunjuk pemerintah. Jamaahnya tinggal terima beres. Gampang, enak dan bikin tenang. Hingga sekarang begitu.Â
Tentu dengan nilai yang berbeda. Pada waktu itu ONH Rp. 22.500.000. Oh ya, ada tambahan lima ratus ribu sebagai sedakah supaya digampangkan, diberi rasa enak dengan perasaan tenang, sekaligus untuk ikut bimbingan setiap hari Ahad yang dibimbing langsung sama Haji Sanre.
Maka, saya ditemani isteri dan ibu saya menemui Haji Sanre, membawa fotocopy KTP serta uang lima belas juta rupiah sebagai setoran pertama untuk tiga orang calon jemaah haji. Untuk saya, untuk isteri saya Murnianti Binti Abdul Muis dan untuk Hetty Daeng Nginga Binti Colli, ibu saya.Â
Di rumah Haji Sanre yang terletak tepat di belakang Masjid Agung Syech Yusuf Sungguminasa, telah menunggu mertua saya. Bapak mertua saya juga rencananya mau berangkat, sementara ibu mertua saya telah berhaji dua tahun sebelumnya.
Bapak Eppe --sapaan akrab terhadap bapak saya ini---juga tak mau ketinggalan ikut mengantar kami pergi mendaftar di Haji Sanre.
"Haji Sanre itu teman sepermainan saya. Teman sekolah sekaligus teman nakal di pasar waktu kami masih anak muda," ungkap Bapak Eppe.
Tentu saja saya sangat senang mendengarnya.