Saya berdiri di tepi jalan Inspeksi Kanal, di depan kompleks kecil Sofia Town House, di mana rumah saya berada, di kawasan yang beberapa tahun lalu saya masih sebut dengan Jalan Hertasning Baru. Kini jalan Aroeppala.
Saya memandang ke selatan, Kabupaten Gowa sekitar setengah kilo di sana. Saya menoleh ke kiri, di timur semburat kuning bulat terang muncul dari sela puncak Bawakaraeng.
Cabang yang ke kiri masuk ke  Perumnas Tidung, memotong kembali di Jalan Aroeppala yang dikenal dengan sebutan Jembatan 1, menjadi parit dan got-got kecil, dan buntu di sana.
Cabang yang ketiga menukik ke kanan memotong Jalan Tun Abdul Razak sebagai terusan Jalan Aroeppala -Jembatan 3 namanya kalau warga di sana pesan online- lalu menuju Batangkaluku di Gowa.
Saya menoleh tepat di sisi kanan saya berdiri, sungai selebar sekitat 25 meter, mengalirkan airnya yang berbau got menuju selatan. Hitam dan semak belukar memenuhi sisi-sisinya di sepanjang penglihatan saya ke selatan.
Oh, kenapa air sungai kecil ini mengalir ke arah Gowa?
Pembangunan kota yang semrawut dan menjamurnya pemukiman yang tak tertata dengan baik, membuat aliran sungai ini yang kocar-kacir. Bahkan, banyak blok-blok perumahan yang menutupi dengan beton di atas selokan dan got-got yang ada di depan rumah earha.
Parahnya, airnya bau berwarna hitam mengalirkan sampah yang tak sedap dipandang mata.
Sungguh saya membayangkan gimana sungai kecil yang ada Seoul, di Stasbourgh, di Interlaken, di Wismar dan kota-kota kecil yang pernah saya kunjungi di luar sana. Begitu jernih mengalir dengan baik dan wajar, dan nampak jelas ikan-ikan sungai bergerombol, serta angsa-angsa berenang di atasnya.
Bikin habis-habis uang negara saja! pikir saya nelangsa.
Saya tak sabar ingin memperbaikinya.
ZT -Makassar, 7 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H