Kereta Taksaka dari Gambir tiba di Stasiun Cirebon beberapa menit sebelum pukul setengah sebelas malam hari. Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di Kota Udang Ini. Biasanya saya hanya melintas, atau transit sejenak, di banyak kesempatan perjalanan dengan kereta pada masa lalu.
Seperti tak ada spasi sedikitpun, kawan Andi Gazly langsung mengajak ke lokasi tempat kegiatan acara di Keraton Kasepuhan Cirebon. Di situ, hari Sabtu besok, 5 Mei 2018, Dewan Masjid Indonesia (DMI) akan mencanangkan secara nasionam program Wisata Religi Berbasis Masjid. Di situ pula akan ada penganugerahan tokoh kebangsaan dari Sultan Kasepuhan Cirebon, PRA Arief Natadiningrat SE, Â kepada Wakil Ketua Umum DMI, Komjen Pol Drs H Syafruddin Msi.
Tengah Malam di Keraton Kasepuhan Cirebon -dokpri.
Menuju Dalem Arum -dokpri
Lewat gerbang samping, saya memasuki keraton tengah malam, untuk melihat langsung persiapan panitia dalam rangka acara penyambutan
Wakapolri yang akan berbicara dalam Simposium Wisata Religi Berbasis Masjid, yang akan dihelat di Bangsal Pagelaran. Dua orang teman tak lupa mengucapkan salam, dan saya pun mengikutinya setelah melewati gerbang sampin keraton, menyusuri jalan yang agak gelap.
Setelah itu, saya langsung jalan-jalan ke berbagai sudut keraton seluas 25 hektar, yang nampak sunyi senyap di malam hari. Perasaan berdesir di hati saya langsung muncul ketika melewati Pintu Buk Bacem menuju Dalem Arum. Di situ saya meraba pintu dan jendela berkelir hijau antik dipadu hijau lumut dan lis keemasan.
Bangsal Pringgadani di malam hari -dokpri.
Nuansa sakral langsung terasa begitu saya berdiri di depan pintu Dalem Arum berwarna kecokelatan itu. Saya membaca papan penanda bertuliskan huruf kapital semua berbunyi : DALEM ARUM ATAU KEDATON YANG FUNGSINYA UNTUK TEMPAT TINGGAL SULTAN DAN KELUARGA TURUN TEMURUN HINGGA SEKARANG. UMUM DILARANG MASUK.
Oh, saya ternyata memasuki daerah terlarang. Tak perduli, saya pun mengintip masuk ke Bangsal Agung, Bangsal Prabayaksa dan Bangsal Pringgadani lewat celah pintu dan jendela. Suasana di dalam begitu temaram dan sepi.
Kereta Singa Barong ini dibuat pada 1549 oleh Panembahan Losari dan digunakan semua Sultan Cirebon sejak Sunan Gunung Jati. Di dalam desain kereta kencana ini terdapat akulturasi budaya Islam, Hindu dan China -dokpri.
Foto Bersama di Bangsal Agung -dokpri.
Malam makin larut. Saya buru-buru menjauhi area yang membuat nuansa hati saya agak lain ini. Lalu berjalan mengitari halaman bangunan sambil mengambil foto dengan menggunakan smartphone. Tak sabar saya menanti esok pagi untuk bisa menyaksikan lagi lebih detail dan lebih banyak sudut-sudut, serta berbagai hal menarik di Keraton Kasepuhan Cirebon ini.
Museum Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon -dokpri.
Bundaran Dewandatu -dokpri.
Esoknya, sekitar pukul 09.00 WIB, siapa nyana saya bisa menikmati sarapan berupa nasi, paru goreng dan tahu berkuah di salah satu sudut di dalam ruangan Dalem Arum. Di bagian tengah ruangan nampak Sultan dan Wakapolri serta beberapa pejabat daerah sedang berbincang santai sembari menikmati masakan khas Cirebon.
Wakapolri sarapan di Bangsal Arum sambil ngobrol santai dengan Sultan Kasepuhan Cirebon -dokpri.
Keraton Kasepuhan adalah satu dari empat keraton yang ada di Kota Cirebon. Namun, keraton inilah yang paling besar dan paling terawat. Posisi Cirebon yang merupakan sebuah pelabuhan, membuat berbagai budaya mudah masuk seiring kedatangan para saudagar dari berbagai penjuru.
Ada kebudayaan China di Keraton Kasepuhan, padahal ini adalah sebuah kesultanan Islam. Rupanya Keraton Kasepuhan ini ternyata kaya dengan akulturasi budaya Islam, Hindu, China dan bahkan Eropa.
Gedong Kereta Singa Barong -dokpri,
Pungkuran Buritan -dokpri.
Tak sembarang bisa masuk ke Kedaton -dokpri
Ada dua kompleks bangunan bersejarah dalam keraton yakni Dalem Agung Pakungwati yang didirikan Pangeran Cakrabuana pada tahun 1430 dan komplek keraton Pakungwati yang sekarang disebut Keraton Kasepuhan yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 Masehi.
Di Dalem Agung Pakungwati, Pangeran Cakrabuana disemayamkan . Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Dalam wafatnya di tahun 1549, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua.
Wakapolri sedang berwudhu -dokpri.
Nama Ratu Dewi Pakungwati diabadikan dan dimuliakan oleh Sunan Gunung Jati sebagai nama keraton, yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang disebut dengan Keraton Kasepuhan. Di depan Keraton Kasepuhan, terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama alun-alun Sangkana Buana yang merupakan tempat latihan para prajurit. Di sebelah barat Keraton Kasepuhan nampak Masjid Agung Sang Ciptarasa yang cukup megah hasil karya dari para wali yang dibangun sekitar tahun 1480 Masehi. Di Masjid ini, Wakapolri bersama sebagian rombongan melakukan shalat zuhur berjamaah.
Mimbar di Masjid Agung Sang Cipta Rasa -dokpri.
Simposium Wisata Religi Berbasis MasjidSebagai pilihan destinasi baru kepariwisataan Indonesia, pemerintah sangat serius mengembangkan Wisata Religi Berbasis Masjid. Pencanangan program ini dimulai dari Simposium Nasional di Keraton Kasepuhan Cirebon, Sabtu 5 Mei 2018.
Syafruddin mengatakan, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan destinasi wisata masjid bersejarah berusia ratusan tahun. Bahkan sejarah Islam di Nusantara pernah menjadi magnet peradaban Islam di dunia. "Cirebon dipilih sebagai pilot project karena memiliki banyak masjid bersejarah yang masih tetap lestari dan digunakan hingga kini," ujarnya.
Menuju Bangsal Pagelaran -dokpri.
"Agar destinasi wisata tidak satu warna dengan menyuguhkan keindahan alam saja, maka pemerintah saat ini sangat bersungguh-sungguh mengembangkan wisata religi. Fungsi Masjid akan bertambah dengan adanya pengembangan wisata religi ini. Bukan hanya sebagai tempat ibadah saja. Namun juga sebagai ruang kajian sejarah peradaban Islam di Indonesia," ungkap Syafruddin.
Menuju tujuan itu, jelas Syafruddin, maka perlu adanya lompatan strategi dengan cara melebarkan jaringan di penjuru dunia. Indonesia pernah menjadi magnet rujukan peradaban Islam di dunia. "Melalui pencanangan destinasi wisata religi berbasis masjid, Indonesia ingin mengulangi sejarah keemasan tersebut. Jika sekarang orang berbondong-berbondong hanya ingin melihat Masjid Biru di Turki. Kenapa tidak, suatu saat nanti orang-orang akan melihat Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan, Cirebon," harapnya.
"Sungguh saya sangat mendambakan Indonesia bisa memiliki pusat pariwisata masjid yang dikenal masyarakat dunia. Indonesia bisa seperti seperti Makkah, Madinah, Jordan, Mesir dan Turki," ucap Syafruddin optimis.
Untuk itu, tambah Syafruddin,  dibutuhkan penguatan  jaringan untuk destinasi wisata religi dengan negara lain. Seperti Brunei, Malaysia dan Singapura. "Salah satunya menjajaki tentang fasilitas yang menunjang wisata masjid," ujarnya.
Menerima Anugerah "Khalifah Panata Tajuk"
Anugerah 'Khalifah Panata Tajuk' -dokpri
Di sela-sela acara simposium, Syafruddin menerima anugerah 'Khalifah Panata Tajuk' dari  Sultan Sepuh XIV Keraton Kesepuhan Cirebon, PRA Arief Natadiningrat SE. Anugerah yang diberikan kepada Wakapolri atas jasa-jasanya dalam mengembangkan dan memakmurkan masjid, selaras dengan wasiat Kanjeng Sinuhun Sunan Gunung Jati, 'Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin'
"Saya titip masjid dan fakir miskin."
Semoga menjadi amal ibadah dan menjadi inpirasi dalam menebar kebaikan dan amal sholih bagi umat.
ZT -Cirebon, 5 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya