Mohon tunggu...
Zainal Tahir
Zainal Tahir Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi

Dulu penulis cerita, kini penulis status yang suka jalan-jalan sambil dagang-dagang. https://www.youtube.com/channel/UCnMLELzSfbk1T7bzX2LHnqA https://www.facebook.com/zainaltahir22 https://zainaltahir.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/zainaltahir/ https://twitter.com/zainaltahir22 https://plus.google.com/u/1/100507531411930192452

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Status Perjalanan (21), Menanti "Sommer"

3 Mei 2018   10:17 Diperbarui: 3 Mei 2018   14:27 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Swafoto di depan perpustakaan di Hochschule Wismar (Dokumentasi Pribadi)

Saya memeluknya erat, menjelang subuh, sesaat setelah ceck in di Terminal 1 Malpensa Airport, Milan, Italia. Tak terasa air mata saya menetes menyaksikan ia berdiri mematung di depan pintu kaca ruang pengecekan barang tentengan ke kabin, sebelum masuk ke Pasport Control.

Ia masih tetap berdiri di situ. Lama, memandangi kami yang sedang diperiksa ketat oleh petugas bandara. Dengan tangan, saya isyaratkan agar ia segera menjauh. Tak tahan saya rasanya memergoki tangannya mengusap mukanya. Apalagi sejak tiba di Milan Kamis (11/1) yang lalu, ia sepertinya kena flu berat dan agak demam. Untung saya tak pernah lupa bawa Panadol dan isteri saya selalu mengantongi Propolis.

Gimana saya tak terharu, 2 tahun kami tak bertemu. Lalu kami mengajaknya jalan keliling kota-kota Eropa selama 3 minggu terakhir. Sebab, dialah andalan kami. Ia menguasai bahasa Inggris dan Jerman dengan baik. Setelah itu, di Bandara ini, kami berpisah lagi.

Kami siap-siap boarding menuju Istanbul, transit 14 jam di sana, lalu kembali ke Jakarta. Sementara ia akan kembali ke Wismar. (Baca juga)

Rifqi Nafiz. Anak sulung saya ini baru saja menyelesaikan student college-nya di Hochschule Wismar dengan nilai 1,7. Saya dan mamanya menghadiri langsung acara graduationnya yang sederhana pada 9 Januari 2018 lalu. Saya sempat tanya dalam nada protes, "Kenapa rendah sekali nilaimu?"

Sambil tertawa ia menjawab, "Termasuk tinggi nilai saya itu, Ayah. Di sini, nilai tertinggi itu 0,7. Nilai terendah 6. Di angkatan saya paling tertinggi nilainya 1,3."

"Oh, gitu. Kalau di Indonesia nilainya A hingga E, standar 0 hingga 4," ujar saya.

"Target saya cuma 2,5. Eh, ternyata bisa 1,7. Nilai Informatika saya tinggi. 0,9. Makanya saya mau lanjut di Universitas di Berlin, mendalami bisnis informatika. Kalau mau lanjut di Wismar ini, saya langsung diterima. Jurusan apa saja yang saya pilih. Tetapi di Wismar ini nanti semester depan baru terbuka pendaftarannya. Masak saya harus menunggu enam bulan lagi, Ayah. Sementara bulan Januari ini banyak universitas di Jerman ini membuka pendaftaran dan akan menerima saya karena nilai saya termasuk tinggi, dan memenuhi kualifikasi yang mereka persyaratkan," jelasnya mendetail.

Saya bersyukur, satu fase terberat bagi mahasiswa international yang akan studi di Jerman, yang telah dilewati anak saya ini. Yakni Student Collegeselama setahun.

Untuk masuk fase ini, ia berjuang keras dan nyaris putus asa setelah hampir setahun ia berusaha ikut ujian masuk. Ia berhasil lulus setelah 6 kali mencoba ikut seleksi yang ketat di berbagai kota di Jerman, dalam kurun waktu lebih 11 bulan.

Dan ternyata, lebih separuh student asal Indonesia harus kembali ke tanah air dengan kegagalan. Sebab dalam setahun berjuang, mereka tak tembus-tembus student college. Itulah sebabnya rata-rata angkatan Rifqi Nafis ini lulus SMU tahun 2015, ketika teman-temannya di Indonesia sudah memasuki tahun terakhir kuliah.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
"Nggak ada masalah, Om. Adik saya di Indo sudah hampir lulus kuliahnya. Saya baru mau masuk kuliah. Sedangkan saya lulus SMU tiga tahun lalu. Di Jerman ini beda, Om. Susah," kata temannya Rifqi yang saya lupa namanya. Ia alumni Jubilee School International, Jakarta.

"Saya sudah di kereta, Ayah," ucapnya melalu call line menyentak saya.

"Ok, hati-hati di jalan, Nak," sahut saya, dengan hati berdesir, saya berusaha menahan perasaan. Menetes lagi air bening di kelopak mata ini, jatuh di ubin dan beku.

"Pagi ini juga saya akan ke Frankfurt. Mungkin tiba jam 3 sore. Saya akan istirahat dulu sehari di rumahnya ibu Nur. Besok baru saya langsung ke Wismar. Masih ada tersisa sehari Pass Interrailku," tambahnya.

"Habiskan saja, Nak. Nanti sommer tahun depan beli lagi," janji saya. Sri Nur Indrati Debus yang dipanggil Ibu Nur sama anak saya ini adalah pemilik rumah yang ditempati Rifqi pertama kali tinggal di Frankfurt dua tahun lalu.

"Iya, Ayah. hati-hatiki juga di jalan." tutupnya.

Panggilan bording dari petugas Turkish Airlines pun terdengar. Saya memberi isyarat kepada Amoez Thene, Asmah Tahir dan Yafi agar segera bangkit.

Saya memasuki antrian menuju garbarata dengan perasaan seperti menanti sommer tahun depan.

ZT - Istanbul, 13 Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun