Susah dibendung keinginan Alif jika itu berhubungan dengan lego. Tak setiap hari juga, tapi hampir tiap minggu ia berburu lego. Kadang saya yang temani, biasanya mamanya. Namun lebih sering kami menemaninya, sekalian memanfaatkan hari libur.Â
Seperti hari Minggu ini.
Biasa ikut juga Yafi, kakaknya yang kerap mengusilinya.
Ah, kedua anak ini! Kalau bertengkar di atas mobil, rasanya kayak kapal pecah! Alif yang tak mau kalah, Yafi yang suka mengganggunya.
Tapi saya suka juga keadaan ini. Paling tidak, ada dinamika dan ramai. Mamanya pun ikut berteriak-teriak kalau suasana makin gaduh. Pokoknya heboh, boh!
Lego bagi Alif, adalah kesehariannya. Ia paling lihai menyusun dan mengatut-atur lego. Kadang ia padukan dengan benda lain asal mainan lain miliknya. Semisal ban mobil-mobilan yang bisa ia jadikan laras senjata robot lego yang ia bangun.
Suatu ketika, mamanya Alif berniat pindah tempat tinggal. Ibukota menjadi tak menarik setelah tiga tahun berjuang, tanpa ada trend menggembirakan. Ia sampaikan ke saya, oke-oke saja respon saya. Datar-datar aja tanggapan saya.
Namun saat ia bertanya kepada Alif, anak bungsu saya itu spontan menjawab, "Alif mau tinggal di Legoland, Mama!"
Saya terbelalak, "Legoland Johor atau Amerika?"
"Legoland, Ayah!"
Keinginan kamu tinggi amat, Nak! Hanya itu tanggapan saya. Hanya dalam hati.
Oh yah, lupa. Semenjak Alif masuk sekolah di SD Negeri tahun lalu, sebenarnya tiap hari ia jajan lego. Di depan sekolahnya ketika ia pulang sekolah. Belinya di abang penjual mainan keliling yang pakai gerobak. Murah meriah. Satu set hanya dua ribu rupiah.
Mungkin saat ini abang penjual mainan keliling itu sudah kewhabisan stok lego.
Alif sudah beli semuanya.
ZT-Kemayoran, 29 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H