Saya tak sanggup menghirup kopi panas yang baru saya pesan di Starbucks, Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Sementara sudah terdengar panggilan untuk bersiap-siap naik di kereta Argo Parahyangan tujuan Bandung.
Pagi ini, kereta itu, sisa lima menit sudah harus bergerak. Jadwalnya 06.15 WIB. Saya segera minta ke gadis manis kasir Starbucks itu sebuah tentengan, untuk kopi hitam yang telah saya taburi brown sugar dua saset. "Take away saja, dek. Keretanya sudah mau berangkat," kata saya.
Gadis itu tersenyum, dan segera memenuhi permintaan saya, menerima segelas kopi yang saya sodorkan, lalu mengemasnya dalam kantongan kertas warna cokelat berlogo Starbucks. "Ini, Pak," sodornya.
Saya duduk di gerbong eksekutif 5 di kursi 1 B dekat dekat pintu, paling depan. Di samping saya, duduk seorang teman, anak muda beranak satu, ahli desain grafis dan penggiat medsos. Saya tak ingin membayangkan kenikmatan perjalanan sekitar tiga setengah jam menuju Bandung, di atas kereta di samping kursi teman yang berbobot lebih 120 kilo itu. Sementara saya sendiri pemilik berat badan 102 kilogram jika belum makan seperti pagi ini.
Saya hanya menatap sunrise dari jendela Argo Parahyangan yang nampaknya baru berada sepelemparan batu dari atap rumah-rumah penduduk yang baru menggeliat di tepi sepanjang jalur kereta.
Saya menyaksikan gerbong-gerbong bekas teronggok tak berdaya, ketika kereta mulai melambat menjelang stasiun Purwakarta.
Padahal Bandung hanya 150 kilometer, hampir empat kali lipat jarak Basel ke Paris, yah... tiga setengah jam juga dengan Argo Parahyangan.
Apa yang telah saya bayangkan tentang kenangan yang indah, di atas TGV, semoga bisa terwujud tahun ini, atau paling telat tahun depan sebelum pesta demokrasi di negeri ini.
Impian tentang kereta cepat yang bisa menghubungkan kota-kota yang ada di negeri saya ini, seperti halnya masyarakat Eropa yang telah lama menikmati fasilitas itu, telah menjelma menjadi sebongkah harapan dan pengungkit semangat.