Saya sudah berada di tanah air ketika menulis status perjalanan ini.
Dua hari sebelum acara graduation Rifqi Nafiz di Wismar Hochschule, saya selalu berkomunikasi dengan teman-teman anak saya itu. Saya mulai beradaptasi dan akrab dengan mereka. Saya suka mendengar cerita-cerita mereka soal gimana perjuangan mereka hingga bisa mendapatkan tempat  student collegge (stucol)
Mendapat stucol saja susahnya bukan main, apalagi untuk melewati proses belajar selama setahun di situ, dan lanjut ke universitas Jerman. Butuh kerja keras, ketekunan dan kesabaran. Intinya, tak mudah sekolah di Jerman.
Pernyataannya itu langsung saya timpali, "Anak-anak perlu juga menikmati gelombang hidup di negara tujuan, sebelum masuk universitas. Soal Living cost, pasti lebih murah kalau mencari sendiri stukol di Jerman. Hanya deposit yang 8.500 euro pertahun. Aturannya maksimal 700 yang bisa meraka tarik per bulan. Hanya itu yang anak-anak menej sendiri. Secara mandiri."
Saya menambahkan,"Yang penting anaknya siap. Dan, orangtuanya harus lebih siap. Termasuk siap menghadapi kondisi terburuk sekalipun."
Ia langsung menanggapi, "Sayang kalo waktu anak harus terbuang-buang  untuk  ikut ujian masuk studkol beberapa kali."
Hampir setahun baru dapat stukol. Dan, ia sangat puas dengan usahanya sendiri. Saya tak pernah kirimi uang selain deposit yang 8.500 itu. Ini pengalaman menarik.
Keberhasilan dan kegagalan berjalan seiring, ibarat sama dengan. Jadi pengalaman ini perlu dishare agar tak terulang pada kita yang berniat sekolahkan anak di Jerman.