Mohon tunggu...
Zainal Tahir
Zainal Tahir Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi

Dulu penulis cerita, kini penulis status yang suka jalan-jalan sambil dagang-dagang. https://www.youtube.com/channel/UCnMLELzSfbk1T7bzX2LHnqA https://www.facebook.com/zainaltahir22 https://zainaltahir.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/zainaltahir/ https://twitter.com/zainaltahir22 https://plus.google.com/u/1/100507531411930192452

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Status Perjalanan (15), Tak Mudah Sekolah di Jerman

14 April 2018   15:36 Diperbarui: 14 April 2018   16:03 1869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sudah berada di tanah air ketika menulis status perjalanan ini.

Dua hari sebelum acara graduation Rifqi Nafiz di Wismar Hochschule, saya selalu berkomunikasi dengan teman-teman anak saya itu. Saya mulai beradaptasi dan akrab dengan mereka. Saya suka mendengar cerita-cerita mereka soal gimana perjuangan mereka hingga bisa mendapatkan tempat  student collegge (stucol)

Mendapat stucol saja susahnya bukan main, apalagi untuk melewati proses belajar selama setahun di situ, dan lanjut ke universitas Jerman. Butuh kerja keras, ketekunan dan kesabaran. Intinya, tak mudah sekolah di Jerman.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dalam perbincangan Whatsapp di grup yang dihuni para orang tua yang anaknya mengikuti dan pernah ikut di program pertukaran pelajar di berbagai negara, seorang teman yang anaknya sedang berada di Jerman ikut student exchange selama setahun mengungkapkan, "Selain student college di Jerman, sebenarnya bisa studienkolleg di Jakarta. Tempatnya di Serpong, German Centre. Lebih mudah untuk masuk dan lebih murah living costnya. Setelah lulus, semua pendaftaran dilakukan dari Indonesia, dibantu guru-guru. Jadi pas berangkat, anak sudah fix, langsung  sekolah dan punya tempat tinggal. Dan, ada beasiswanya juga."

Pernyataannya itu langsung saya timpali, "Anak-anak perlu juga menikmati gelombang hidup di negara tujuan, sebelum masuk universitas. Soal Living cost, pasti lebih murah kalau mencari sendiri stukol di Jerman. Hanya deposit yang 8.500 euro pertahun. Aturannya maksimal 700 yang bisa meraka tarik per bulan. Hanya itu yang anak-anak menej sendiri. Secara mandiri."

Saya menambahkan,"Yang penting anaknya siap. Dan, orangtuanya harus lebih siap. Termasuk siap menghadapi kondisi terburuk sekalipun."

Ia langsung menanggapi, "Sayang kalo waktu anak harus terbuang-buang  untuk  ikut ujian masuk studkol beberapa kali."

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Untuk itu, saya menjelaskan panjang lebar bagaimana anak saya hingga sekarang sudah bisa melewati jenjang stucol. Begini : Sewaktu pulang Exchange Student 2014 lalu, Rifqi ditawari yang di serpong itu. Tapi ia tidak mau. Ia hanya ingin ambil sertifikat di Ghothe Institute, dan menerima tawaran biro jas Lado Educare, yang akhirnya kena tipu sekitar 18.000 euro. Akibat ulah biro jasa itu ia terkatung-katung hampir setahun setengah tak berangkat. Setelah berangkat pun, sampai di Jerman ia terlantar. Hingga seminggu tinggal di masjid. Untung dia punya pengalaman setahun pertukaran pelajar, dan rajin bergaul. Ia Banyak teman.

Hampir setahun baru dapat stukol. Dan, ia sangat puas dengan usahanya sendiri. Saya tak pernah kirimi uang selain deposit yang 8.500 itu. Ini pengalaman menarik.

Keberhasilan dan kegagalan berjalan seiring, ibarat sama dengan. Jadi pengalaman ini perlu dishare agar tak terulang pada kita yang berniat sekolahkan anak di Jerman.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Saya bersyukur Rifqi sudah keluar dari Rumah Sakit di Wismar setelah semimggu di rawat di sana. Tanggal 9 Januari 2018 lalu saya menghadiri acara graduationnya. 

Setelah saya kembali ke tanah air, ia kena demam berhari-hari di sana. Ia stres merasa terpapar TBC, sebab 4 orang temannya telah kena TBC sebelumnya,  dan kembali ke Indonesia. Walau dua orang di Antaranya sudah kembali lagi ke Jerman dan melanjutkan Student College mereka. Kini kedua orang itu sudah kuliah di universitas negeri di Berlin.

Empat bulan yang lalu ada temannya Rifqi yang telah menyelesaikan stukolnya di Kotten. Ia mendaftar universitas di Wismar dan tinggal di Kamar Rifqi. Ternyata anak itu telah ketularan TBC dari dari teman-temannya sebelumnya. Rifqi langsung membawanya ke rumah sakit di Wismar, dan anak itu dikarantina selama 40 hari, untuk bisa balik ke Indonesia.

Jadi, Rifqi khawatir dia juga tertular. Kekhawatiran itu menimbulkan stres berkepanjangan. Saya paksa Rifqi pulang, tapi ia tidak mau, katanya menunggu universitas yang telah ia daftari. Saya suruh dia periksa ke dokter, tapi ia khawatir langsung dikarantina seperti temannya itu, yang akan berakibat tertunda kuliah  paling tidak satu semester.

Akhirnya, ia putuskan untuk periksa ke Rumah Sakit setelah saya kuatkan mentalnya dari jauh.

Rifqi diperiksa secara menyeluruh, mulai ludah, kencin, darah, rambut dan  diketeter untuk dimasukkan kamera,  laparaskopi. Termasuk test HIV/AIDS. 

Dan, hasilnya negatif semua. Rifqi ternyata kena radang lambung.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Alhamdulillah, ia sekarang tinggal  Giessen setelah di terima di  Technische Hochschule Mittelhessen jurusan Social Media System. 

Rifqi juga diterima di Fakultas Bisnis di Universitas Dortmund, tempat host familynya dulu. Tapi, ia lebih memilih Giessen. Ia puas jerih payahnya yang tak kenal menyerah telah membuahkan hasil, walau  ia sadari perjuangan baru telah ia mulai lagi

Tulisan terkait

ZT-Jakarta, 13 Februari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun