Amsterdam menyambut saya dengan gerimis tadi malam. Begitu turun dari Thalys train yang free wifi itu tepat pukul 21.47 waktu setempat, dan menjejakkan kaki di negeri kincir angin ini, rinai gerimis telah menyapa saya dengan belaian suhu 6 C.
Sejenak saya cuci mata, melirik-lirik wanita Belanda yang melintas di depan saya. Cantik-cantik, putih-putih dan mancung-mancung. Eh, rata-rata tinggi-tinggi juga. Di benak saya terbetik opini, bahwa ada sebagian aset negeri kami yang melekat pada diri wanita-wanita itu, warisan dari buyutnya yang berwatak kolonialis!
Butuh waktu sekitar 2 menit untuk sampai di apartemen 3 kamar tidur yang mirip ruko berlantai 4 ini, tanpa lift, tangganya sempit dengan kemiringan yang membuat saya geleng-geleng kepala. Tapi begitu sampai di lantai 3 dengan ngos-ngosan, saya terhibur dengan kesan mewah yang disodorkan apartemen ini. Desain minimalis bernuansa putih dipadu cokelat membuat saya terhibur. Pengen rasanya segera berselonjor kaki, membaringkan badan di kasur yang empuk dan meletakkan kepala di bantal yang gembung.
Amsterdam di malam hari. Masih begitu banyak orang yang lalu-lalang. Berseliweran di sepanjang jalan. Selain memanfaatkan tram yang sekali beli tiketnya 3 untuk pemakaian satu jam, warga Amsterdam dan para turis pun banyak memakai sepeda. Mereka tak peduli kebekuan kota dan gerimis. Sepeda jadi andalan di kota ini.
Dingin. Mau pigi lihat kincir angin, ah!
ZT - Amsterdam, 3 Januari 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H