Saya melihat Rifqi dan Yafi sudah berteduh di depan sebuah butik mewah dan besar yang memajang tas branded yang sering saya saksikan tersampir di lengan istri-istri pejabat dan orang-orang kaya di Jakarta. Tak apa saya sebutkan merek itu di sini, semoga tak berbau iklan; Louis Vuitton. Merek berlogo LV inipun sering saya lihat tergantung di pundak beberapa anggota DPR yang sering saya temukan wara-wiri di mal-mal mewah ibukota.
Menunggu gerimis reda di emperan Champs-lyses, di depan butik LV terlengkap di dunia, sambil melirik-lirik produk teranyar LV yang tergeletak di etalase di balik kaca itu, membuat istri saya semakin mendekat. Entah dalam nada tanya atau sekadar pernyataan yang yang butuh respon sesegera mungkin, Â Ia berkata lirih, "Bagus yah produk terbarunya?"
"Mama mau?" tanggap saya mengipaskan sebuah harapan.
"Segera saja, Papi. Saya tak mungkin nolak kalau dibelikan satu." ucapnya dengan mata berbinar-binar.
"Nanti di Jakarta saja yah. Banyak di Tanah Abang cuma dua ratus ribu. Â Hahaha...," kata saya sambil terkekeh-kekeh.
Mendengar itu, istri saya ikutan tertawa, "Kalau LV Tanah Abang  tak bisa lolos di bandara sini. Pasti digunting karena merek palsu," ujarnya.
"Ah, siapa bilang?" bantah saya.
"Coba saja!"
Sepanjang menyusuri Champs-lyses di senja yang sudah mulai gelap itu, tak terasa jalan kaki hingga sampai di sebuah bundaran bernama  Arc de triomphe de l'toile. Pas di tengahnya terdapat gapura ikonis yang dibangun untuk memperingati kemenangan Napoleon, dilengkapi dek observasi. kamimenyeberang ke situ lewat jalanbawah tanah yang luas dan nyaman.
Butik Hermes pun sudah terlupakan.